21/08/2009 Uncategorized
Karya sastra tempo dulu seperti Atheis, Salah Asuhan, dan beberapa judul lainnya yang sempat menjadi bacaan wajib di sekolah, kini nyaris tenggelam. Padahal banyak hal menarik dan inspiratif terdapat dalam karya sastra tersebut.
Karya sastra tempo dulu seperti Atheis, Salah Asuhan, dan beberapa judul lainnya yang sempat menjadi bacaan wajib di sekolah, kini nyaris tenggelam. Padahal banyak hal menarik dan inspiratif terdapat dalam karya sastra tersebut.
Karya sastra tempo dulu seperti Atheis, Salah Asuhan, dan beberapa judul lainnya yang sempat menjadi bacaan wajib di sekolah, kini nyaris tenggelam. Padahal banyak hal menarik dan inspiratif terdapat dalam karya sastra tersebut.
Masih banyak lagi manfaat yang dapat diperoleh melalui membaca karya sastra. Persoalan tersebut dibahas dalam acara talkshow bertema Indonesian Culture Heritage, pada acara UPH Festival 16, di Grand Chapel (15/8).
Talk show yang dipandu oleh Samuel Mulia ini menghadirkan Becky Tumewu, Taufik Ismail, dan Vincent club 80?s sebagai pembicara.
Acara ini berlangsung atas inisiatif Balai Pustaka yang akan menerbitkan kembali buku-buku sastra tempo dulu agar bisa kembali dinikmati oleh masyarakat. Delapan buku yang akan terbit antara lain, Atheis, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Azab dan Sengsara, dan Habis Gelap Terbitlah Terang. Sedangkan buku yang dibedah saat itu berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karangan Idrus. Buku ini memuat 12 cerita pendek yang tidak berhubungan satu sama lain.
Becky pun sempat membacakan sebuah puisi dari Taufik Ismail berjudul ?Kupu-Kupu di dalam Buku?. Bukan sekedar membaca, Vincent juga memetik gitar akustik sebagai pengiring. Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang haus akan pengetahuan tentang segala hal. Sang anak pun bertanya tentang kupu-kupu kepada bundanya tetapi tidak mendapat jawaban memuaskan. Ternyata jawaban yang dicari sang anak ada di dalam Ensiklopedia.
Hal utama yang disoroti Taufik Ismail adalah tentang budaya membaca di Indonesia. Menurutnya, bukan anak-anak yang harus disalahkan atas ketertinggalan bangsa Indonesia dalam budaya baca, tapi sistem yang tidak mendukung budaya ini. Kalau anak-anak di Indonesia seperti anak-anak di Rusia yang diwajibkan membaca puluhan buku semasa sekolah, mungkin budaya baca sudah mendarah-daging di negeri kita. Tidak cukup sampai disitu, Taufik juga membandingkan ketebalan buku yang wajib baca di Rusia, dengan sastra-sastra Indonesia yang ternyata jauh lebih tipis.
Sastra Indonesia tidak susah untuk dimengerti, melainkan sangat menarik dan inspiratif. Banyak permasalahan hidup yang terjadi di masa kini ternyata sudah pernah disoroti oleh sastra jaman dahulu. Contohnya perceraian, perselingkuhan, kemanusiaan, dan lain sebagainya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk orang-orang Indonesia tidak membaca karya sastra. Seorang penggemar sastra tidak musti menjadi seorang satrawan, tapi sastra bisa menjadi medium pertama untuk menanamkan budaya membaca buku secara keseluruhan.
Para pembicara melihat antusiasme yang tinggi dari para mahasiswa dalam mengikuti talk show ini dan mereka berharap mahasiswa UPH juga mau mulai membaca karya sastra Indonesia. (sar)