08/09/2009 Uncategorized
Dalam diskusi sidang pers yang berjudul ?Press Ethics in Covering Terrorism? (Etika Pers dalam Meliput Terorisme) yang diadakan pada hari Kamis (27/08), Wakil Ketua Sidang Pers, Leo Batubara, mengatakan artikel dari Tjipta Lesmana, Dosen Komunikasi Politi
Prof. Tjipta Lesmana |
Dalam diskusi sidang pers yang berjudul ?Press Ethics in Covering Terrorism? (Etika Pers dalam Meliput Terorisme) yang diadakan pada hari Kamis (27/08), Wakil Ketua Sidang Pers, Leo Batubara, mengatakan artikel dari Tjipta Lesmana, Dosen Komunikasi Politik UPH, yang berjudul ?Kebingungan Informasi? memiliki potensi untuk menekan kebebasan pers. Artikel ini diterbitkan di Koran Kompas (13/08). Leo mengatakan hal ini dikarenakan artikel Tjipta diakhiri dengan ?Satu tips untuk para polisi: selanjutnya, bila ingin melaksanakan operasi penahanan teroris, jangan undang pers. Laporan pers juga terkadang membawa kebingungan.? Pernyataan ini dianggap Leo sebagai penekanan akan kebebasan pers karena jurnalis tidak diberikan kebebasan untuk mengakses informasi. |
|
Menanggapi hal ini, Tjipta Lesmana mengatakan bila polisi melibatkan pers, maka akan hanya mengulang kasus penyergapan tersangka teroris Noordin M. Top yang seperti sinetron. Hal ini dapat mempengaruhi kerja polisi atau Detasemen Khusus ? Densus dalam penyergapan karena mereka tahu ada kamera yang mengikuti sehingga segala tingkah laku mereka menjadi berlebihan. Operasi seperti ini harus dilakukan secara alami dan tentu saja dalam kerahasiaan. ?Hal ini harus menjadi operasi rahasia. Polisi harusnya menjalankannya sesuai dengan rencananya sendiri, jangan undang pers. Ketika operasinya selesai, berikan saja informasinya dalam konferensi pers. Tapi bila polisi tidak berhasil, jangan memberi tahukan apapun kepada para jurnalis,? tambahnya di kantor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada hari Kamis (03/09). Dosen Pengenalan Hukum Jurnalisme dan Media UPH ini mengatakan keterlibatan pers dalam penyergapan teroris memberikan kesan bahwa polisi kita terlihat bodoh. ?Waktu yang diperlukan untuk menyerang sarang mereka kurang lebih memakan 17 jam. Bila itu Noordin, tidak apa-apa, namun sayangnya, hasil sebenarnya adalah nol,? katanya. Tidak melibatkan jurnalis dalam operasi penyergapan bukan berarti melanggar kebebasan pers. ?Hal ini tidak berkaitan dengan kebebasan pers. Tidak ada kebebasan yang absolut di dunia ini. Meskipun pers mempunyai kebebasan untuk mengakses informasi, tidak berarti kebebasan tersebut bisa digunakan begitu saja. Batasan tetap masih ada dalam kebebasan tersebut.? Di seluruh dunia tidak ada prajurit maupun petugas yang membawa reporter pada saat operasi penangkapan teroris. ?Bila ada indikasi kuat yang diburu polisi adalah teroris, polisi harus tetap berhati-hati dalam melaksanakan operasinya. Tujuannya adalah menghindari jatuhnya korban jiwa dari petugas. Semuanya harus dijalankan dengan rahasia,? katanya dengan semangat. Karena itu, ia menyarankan bahwa para jurnalis tidak perlu mengikuti polisi selama operasi penyergapan teroris. Bila mereka berhasil menangkap teroris, maka polisi bisa mengadakan konferensi pers. Dalam konferensi tersebut, para jurnalis dapat bertanya sebanyak yang mereka mau, tapi bila polisi tidak menjawab semua pertanyaan, maka hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai halangan dalam kebebasan pers. ?Para polisi harus berhati-hati. Beberapa informasi harus tetap dirahasiakan agar polisi dapat memutus jaringan teroris,? tambahnya sambil menutup perbincangan. (cynruslan)
UPH Media Relations
|