NEWS & PUBLICATION

CoM UPH Gelar Seminar Play, Music dan Art Untuk Kesehatan dan Kesejahteraan

30/10/2017 Uncategorized

CoM UPH Gelar Seminar Play, Music dan Art Untuk Kesehatan dan Kesejahteraan

Conservatory of Music Universitas Pelita Harapan (CoM-UPH) mengadakan seminar bertajuk Play, Music and Art for Health and Wellbeing, dengan menghadirkan tiga pakar therapeutic Play Therapy, Music Therapy dan Art Therapy

paparann.jpg
Mutia Ribowo, Art Therapist sebagai Salah Satu Pembicara ketika Memberikan Paparan
 

Conservatory of Music Universitas Pelita Harapan (CoM-UPH) mengadakan seminar bertajuk Play, Music and Art for Health and Wellbeing, di tanggal 25 Oktober 2017 dengan menghadirkan tiga pakar therapeutic Play Therapy, Music Therapy dan Art Therapy. Seminar ini digagas oleh UPH Conservatory of Music Peminatan Terapi musik sebagai bagian dari rangkaian acara tahunan Musicaphoria. Seminar ini dirasa penting  mengingat banyak sekali anak yang saat ini mengalami masalah dalam mental, emosi dan perilaku. Kolaborasi tiga pendekatan ini dirasakan dapat memberikan manfaat lebih dalam menangani masalah tersebut.

 

 

Monica Subiantoro, dosen Music Therapy UPH sekaligus seorang music therapist berlisensi UK-HCPC lulusan Anglia Ruskin University mengatakan keterkaitan play, music dan art sangat erat. ?Ketiga pendekatan ini saling beririsan. Dalam music therapy sendiri mediumnya memang musik, tetapi didalamnya banyak terdapat unsur bermain dan art. Bermain merupakan dasar dari improvisasi yang digunakan secara luas dalam terapi musik, dan dipercaya berperan penting dalam perkembangan mental dan fisik seseorang. Sedangkan dalam Play Therapy mediumnya juga banyak seperti art, puppet, clay, figuring, dan juga musik,? jelas Monica.

 
 IMG_4062.jpg
Yudi Hartanto Memberikan Simulasi
 

Seminar dimulai dengan penjelasan Play Therapy yang disampaikan Yudi Hartanto, seorang Play therapist dari Post Graduate Diploma dari APAC (Academy/ of  Play and Child Psychotherapy) yang kini aktif bekerja di College of Allied Educators Indonesia. Menurutnya bermain sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan anak dan ada tahapan-tahapan yang dilalui mulai dari sensori, projection lalu ke tahap roleplay.  Dalam ketiga tahap ini jika terjadi gangguan anak akan mengalami kesulitan untuk menjadi sehat secara emosi dan dalam bersosialisasi, yang berakibat susah beradaptasi pada lingkungan yang luas. Di sinilah diperlukan terapi supaya mereka bisa berkembang dan sehat.

 

Menyambung dan berangkat dari kondisi tersebut, Yudi menampilkan sebuah video di dalam sesi nya. Dalam video tersebut tampak seorang bayi yang bereaksi cukup keras dan gelisah saat ibunya menampilkan ekspresi yang datar dan tanpa emosi, tanpa ada suatu komunikasi dengan anaknya. Reaksi tersebut sangat berbeda saat sang ibu tertawa dan bercakap-cakap dengan bayinya. 

 

Inilah yang mencerminkan keadaan jaman sekarang. Banyak sekali penggunaan gadget yang membuat orangtua sibuk sendiri tanpa ada koneksi dan komunikasi khusus dengan anak. Sementara seorang anak butuh mirroring dari orangtua yang seharusnya Responsif terhadap seorang anak. Banyak bermain bersama di dalam proses tumbuh kembang anak akan membuat anak bahagia dan berekspresi secara bebas.

 

Meresponi paparan tersebut, Felina, peserta yang berprofesi sebagai guru gambar, mengemukakan pengalaman menghadapi banyaknya murid pre-school yang tidak berekspresi secara bebas saat diminta bermain bersama di dalam kelas.

 

Hal tersebut ditanggapi Yudi dengan menekankan pentingnya bermain khususnya pada periode golden age anak.

 

?Saat anak berusia 0 sampai 5 tahun berikan dia kesempatan seluas-luasnya untuk bermain. Kalau orangtua tidak aware, akhirnya anak tersebut tidak mendapat kesempatan. Yang diberikan malahan gadget untuk menenangkan anak. Padahal gadget itu tidak riil. Sementara mirroring dengan ibu yang tersenyum itu riil. Itu akan menstimulasi otaknya sehingga menghasilkan komunikasi yang lebih baik. Attachment yang sehat adalah yang paling dasar yang anak harus dapatkan?, jelasnya.

 

Selanjutnya sesi Art Therapy dibawakan oleh Mutia Ribowo, seorang art therapist lulusan pascasajarna Lassale College of The Arts, Singapore. Mutia memiliki spesialisasi menangani usia anak sampai dewasa yang memiliki gangguan mental, depresi, trauma dan ketergantungan.

 

Dia membuka sesinya dengan mengajak setiap orang untuk membuat sebuah scribble atau coretan pada secarik kertas, yang selanjutnya dipindahtangankan ke orang yang duduk di sampingnya untuk diminta meneruskan scribble yang telah dibuat oleh orang pertama.

 

Aktivitas ini sempat membuat seorang peserta awalnya tampak bingung, namun akhirnya dia merasa tertantang untuk meneruskan coretan dari orang di sebelahnya.

 

Menanggapi reaksi tersebut, Mutia menjelaskan memang bagi beberapa orang  akan merasa tidak bisa, susah lalu frustasi. Ada juga yang pasrah terhadap tantangan tersebut. Ada yang merasa takut salah dan takut di judge jelek.

 

?Namun bukan hasil yang mau kita lihat, namun prosesnya. Apa yang kamu rasakan dari kegiatan ini. Biasanya ini dipakai untuk melihat resiliency dari klien. Sebuah ketahanan. Ini tampak dari bagaimana seseorang memecahkan masalahnya. Kalau misal tadi kalian frustasi itu merefleksikan resiliency dari diri sendiri?, jelas Mutia.

 

Jadi dari hal itulah art bermanfaat, selain dapat dinikmati, art juga berguna sebagai alat eksistensi diri, dan yang lebih penting sebagai terapi khususnya bagi mereka yang sulit mengkomunikasikan diri secara verbal, yang bisa dikarenakan trauma atau kondisi tertentu.

 

Seminar ini diikuti oleh berbagai latar belakang peserta, baik mahasiswa, ibu rumah tangga, guru, pemusik dan profesi lainnya. Salah satu peserta Imelda Murti, Alumni Fakultas Ilmu Seni UPH 2002, yang juga seorang Ibu rumah tangga dan guru privat musik, menyampaikan alasan mengikuti seminar ini karena rasa ingin tahu bagaimana metode terapi ini dapat dipakai untuk menangani anak berkebutuhan khusus.

 

?Sebagai guru musik, ada beberapa murid saya yang berkebutuhan khusus. Dan saya merasa perlu pengetahuan khusus untuk menangani anak-anak seperti ini. bahkan saya juga ingin mengambil kursus atau sekolah lanjutan untuk bidang terapi ini,? ungkapnya.

 

Sementara Monica Subiantoro melihat ketiga bidang ini ?play,music and art– merupakan bidang yang saling beririsan. Kolaborasi ketiga bidang ini sangat efektif untuk proses therapeutic. Karenanya ia aktif berkolaborasi dengan pakar di bidang play dan art melalui kegiatan  seminar bersama atau workshop, sehingga masyarakat mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai pemanfaatan ketiga bidang ini dalam kegunaan art, music, dan play dalam terapi. Harapan kami melalui seminar ini juga dapat menarik minat orang-orang yang ingin mempelajari bidang ini dan terjun ke profesi creative arts therapy yang masih terbuka lebar. (tm/rh) 

 
 
 
Monica_dan_Yudi.jpg
(ki-ka) Yudi Hartanto bersama Monica Subiantoro, Dosen Music Therapy UPH sekaligus seorang music therapist
 
 
UPH Media Relations