27/10/2025 Partnership
Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar di kawasan Asia Tenggara. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, sepanjang Januari hingga Maret 2025, sebanyak 22.376 warga negara Indonesia (WNI) berangkat bekerja ke luar negeri. Di balik angka yang besar ini, tersimpan tantangan serius yang masih membayangi keselamatan dan hak-hak mereka—mulai dari sengketa hukum, eksploitasi, perdagangan manusia, hingga kejahatan lintas negara. Situasi ini menegaskan pentingnya penguatan sistem perlindungan serta diplomasi yang berpihak pada kepentingan pekerja migran.
Dalam konteks tersebut, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI memegang peran strategis dalam memperjuangkan hak-hak WNI di luar negeri, sekaligus memastikan kebijakan luar negeri Indonesia tetap berpijak pada kepentingan rakyat. Sebagai wujud nyata komitmen tersebut, BKSAP DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Universitas Pelita Harapan (UPH), Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang, pada Senin, 27 Oktober 2025. Mengusung tema “Diplomasi Perlindungan WNI: Menguatkan Peran Negara dalam Sengketa dan Isu Ketenagakerjaan Internasional”, kegiatan ini menjadi wadah dialog dan pertukaran gagasan untuk memperluas pemahaman serta menjaring masukan dari kalangan akademisi mengenai peran diplomasi parlemen dalam melindungi WNI di kancah global.
Delegasi BKSAP dipimpin oleh Bramantyo Suwondo, M.IR., selaku Ketua Delegasi sekaligus Wakil Ketua BKSAP. Ia didampingi oleh dua Wakil Ketua lainnya, yakni Irine Yusiana Roba Putri, S.Sos., M.Comm & MediaSt., serta Muhammad Husein Fadlulloh, B.Bus., M.M., M.B.A. Turut hadir pula anggota BKSAP lainnya, antara lain Gilang Dhielafararez, S.H., LL.M., Dr. Hj. Adde Rosi Khoerunnisa, S.Sos., M.Si., dan H. Fathi.
Kedatangan delegasi BKSAP disambut hangat jajaran Rektorat UPH, termasuk Dr. Stephanie Riady, B.A., M.Ed., Direktur Eksekutif Pelita Harapan Group (PHG) sekaligus Presiden UPH; Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng., Sc., Rektor UPH; Eric Jobiliong, Ph.D., Vice President of Academics, Research, and Innovation; serta Dr. Andry M. Panjaitan, S.T., M.T., CPHCM., Associate Vice President of Student Development, Alumni, and Corporate Relations.
“Kami dari UPH mengapresiasi inisiatif BKSAP DPR RI yang ingin berdialog dengan dunia akademik. UPH siap menjadi mitra strategis dalam memberikan pemikiran dan solusi terkait isu-isu nasional, termasuk ketenagakerjaan dan diplomasi perlindungan. Kami terbuka untuk mendengarkan dan memberikan masukan bila diperlukan, serta berkomitmen untuk terus berperan dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” sambut Rektor UPH.
Kunjungan ini juga dihadiri pimpinan fakultas dan program studi UPH, yakni Dr. Gracia Shinta S. Ugut, MBA., Ph.D., Executive Dean College of Business and Technology sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., Executive Dean College of Arts and Social Sciences sekaligus Dekan Fakultas Hukum; Prof. Dr. Edwin Martua Bangun Tambunan, S.I.P., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sekaligus Ketua Program Studi Magister Hubungan Internasional; Prof. Dr. Agus Budianto, S.H., M.Hum., Wakil Dekan Fakultas Hukum sekaligus Ketua Program Studi Magister Hukum; Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D., Guru Besar dan dosen bidang Hubungan Internasional UPH; dan Prof. Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H., M.Kn., Guru Besar dan dosen Fakultas Hukum UPH.
Parlemen dan Akademisi Bersinergi Hadapi Isu Pekerja Migran
Dalam sesi diskusi, Bramantyo Suwondo menjelaskan bahwa BKSAP merupakan alat kelengkapan DPR RI yang berperan aktif dalam menjalin hubungan internasional dengan parlemen negara lain.
“Diplomasi parlemen harus menjadi instrumen nyata untuk memastikan negara hadir melindungi warganya di luar negeri. Melalui diplomasi, kami berupaya memperkuat posisi Indonesia di ranah global, terutama dalam isu hukum, ketenagakerjaan, dan perlindungan warga negara. Untuk itu, forum seperti ini penting agar kebijakan yang dihasilkan berbasis riset, sehingga kami bisa memberikan masukan kepada pemerintah,” ujarnya.
Irine Yusiana Roba Putri menambahkan bahwa diplomasi seharusnya tidak hanya dimaknai dalam konteks politik, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Perguruan tinggi, menurutnya, memiliki peran strategis dalam menyusun regulasi yang berpihak pada rakyat.
“Kami yakin, UPH memiliki pandangan berharga tentang bagaimana negara harus hadir melalui regulasi dan payung hukum yang melindungi rakyat. Sebagai pelayan masyarakat, kami ingin mendapatkan arahan agar dapat menciptakan undang-undang yang benar-benar membawa manfaat. Kami percaya, UPH adalah ‘pabrik’ penghasil SDM berkualitas tinggi bagi bangsa,” kata Irine.
Sementara itu, Dr. Hj. Adde Rosi Khoerunnisa menyoroti maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang berkedok magang luar negeri. Berdasarkan data Bareskrim Polri per Juli 2025, tercatat 404 korban TPPO, termasuk 95 mahasiswa yang terjebak program magang palsu.
“Kami berharap UPH bisa berperan sebagai pusat sosialisasi dan edukasi mengenai magang yang aman dan terkendali,” ujar alumni Prodi Strata 1 (S1) Ilmu Komunikasi UPH angkatan 2005 ini.
UPH Dorong Diplomasi Parlemen hingga Edukasi
Para pimpinan UPH turut memberikan masukan berdasarkan pengalaman akademik dan praktik di kampus. Eric Jobiliong, Ph.D., menjelaskan bahwa UPH selalu menyeleksi dan memverifikasi setiap program magang internasional secara ketat. Menurutnya, pendekatan ini penting untuk memastikan keselamatan dan keberhasilan mahasiswa selama magang.
“Sebagai contoh, kami pernah mengirim mahasiswa dari Papua untuk magang di Korea Selatan. Sebelum itu, kami memeriksa langsung perusahaan tempat mereka magang, bertemu dengan pihak HR, dan meminta feedback setelah program selesai. Selama ini hasilnya positif dan kami selalu memastikan aspek perlindungan bagi mahasiswa kami,” jelasnya.
Dr. Andry M. Panjaitan menekankan pentingnya perencanaan dan regulasi yang jelas dalam kerja sama internasional. Ia menilai, pertukaran pelajar dan magang harus disertai kebijakan yang melindungi mahasiswa dari potensi penyalahgunaan.
“Harus ada kerja sama yang jelas antara universitas dan perusahaan di luar negeri, termasuk perhatian terhadap kebijakan dan regulasinya. Dengan begitu, mahasiswa memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara di luar negeri,” ungkapnya.
Dr. Gracia Shinta S. Ugut, menyoroti perlunya peningkatan keterampilan dan literasi keuangan bagi calon pekerja migran. Ia menjelaskan bahwa Indonesia dapat belajar dari Filipina yang telah memiliki sistem pelatihan tenaga kerja melalui lembaga seperti Technical Education and Skills Development Authority (TESDA), yang mempersiapkan para pekerja agar terampil dan memiliki nilai tambah.
Dr. Velliana Tanaya mengatakan, bahwa kesadaran hukum calon pekerja migran masih rendah. Ia menekankan perlunya memperkuat lembaga penempatan tenaga kerja yang legal serta meningkatkan edukasi hukum bagi calon pekerja agar memahami hak dan kewajiban mereka.
Sementara itu, Prof. Dr. Edwin Martua Bangun Tambunan menilai isu pekerja migran belum cukup dipahami masyarakat luas. Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga menyangkut keamanan manusia, termasuk perlindungan dari pelecehan, intimidasi, dan kondisi kerja tidak manusiawi.
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D., menambahkan bahwa diplomasi tidak hanya terjadi di level negara, tetapi juga antarwarga (people-to-people diplomacy). Menurutnya, hubungan sosial lintas negara harus diperkuat agar perlindungan bagi pekerja migran lebih efektif.
Masukan lain datang dari Prof. Dr. Jamin Ginting yang menilai pentingnya penyusunan roadmap pelatihan pekerja migran yang sesuai kebutuhan negara tujuan, serta penambahan shelter atau rumah aman bagi WNI di luar negeri.
Menutup sesi diskusi, Prof. Dr. Agus Budianto, S.H., M.Hum., menyoroti faktor ekonomi dan sosial yang mendorong masyarakat Indonesia bekerja ke luar negeri. Dengan jumlah penduduk 280 juta jiwa dan tingkat pengangguran yang masih tinggi, banyak warga yang mencari peluang kerja di luar negeri. Ia menegaskan, bahwa keterampilan yang terbatas, serta praktik mafia tenaga kerja menjadi tantangan besar yang harus diatasi melalui diplomasi yang tegas dan bermartabat.
Komitmen Lanjutan
Usai menerima masukan dari Civitas Academica UPH, Bramantyo Suwondo menyampaikan apresiasinya atas perspektif baru yang diberikan. Menurutnya, diskusi ini membuka wawasan penting bagi upaya memperkuat peran diplomasi parlemen dalam melindungi pekerja migran Indonesia.
Kunjungan kerja BKSAP DPR RI ke UPH menegaskan urgensi sinergi antara parlemen dan sektor pendidikan tinggi dalam merumuskan kebijakan yang nyata dan berpihak pada WNI di luar negeri. Sementara itu, UPH membuktikan perannya sebagai mitra strategis, menghadirkan pemikiran ilmiah dan solusi yang berdampak bagi pembangunan bangsa.
Kegiatan ini sekaligus mencerminkan komitmen UPH untuk terus hadir dan memberi kontribusi bagi kemajuan Indonesia. Semangat inilah yang ditanamkan dalam proses belajar mengajar, membentuk mahasiswa menjadi lulusan yang unggul, takut akan Tuhan, dan siap memberikan dampak positif bagi masyarakat.