NEWS & PUBLICATION

Sudah Saatnya Polugri SBY Data Driven bukan Opportunity Driven

20/02/2012 Uncategorized

Sudah Saatnya Polugri SBY Data Driven bukan Opportunity Driven

Pernyataan tersebut disampaikan Dekan FISIP UPH, Profesor Aleksius Jemadu, menanggapi pemaparan politik luar negri (polugri) RI di bawah pemerintahan presiden SBY yang disampaikan Dr. Santo Darmosumarto,

 
(kiri-kanan) Dosen Fakultas Hukum UPH, John Riady, Dr. Santo Darmosumarto, Pembantu Asisten Staf Khusus Kepresidenan Bidang HI, dan Dekan FISIP UPH, Prof. Aleksius Jemadu.
 

Pernyataan tersebut disampaikan Dekan FISIP UPH, Profesor Aleksius Jemadu, menanggapi pemaparan politik luar negri (polugri) RI di bawah pemerintahan presiden SBY yang disampaikan Dr. Santo Darmosumarto, Pembantu Asisten Staf Khusus Kepresidenan Bidang HI, Hari ini (17/2), di hadapan mahasiswa dan Dosen Fakultas Hukum dan Hubungan Internasional FISIP UPH.

 

Dalam presentasinya, Santo memaparkan perkembangan Indonesia di mata internasional terkait dengan polugri presiden SBY. Menurutnya perkembangan ini kurang mendapat perhatian masyarakat.

 

Perkembangan yang dimaksud dalam konteks domestik diantaranya, reformasi dan demokrasi yang semakin stabil. Dalam proses demokratisasi Polugri di Indonesia kini semakin berkembang dengan meningkatnya pihak-pihak yang mempengaruhi kebijakan polugri, seperti DPR, Akademisi dan organisasi masyarakat mahdani, termasuk pers. Daerah juga memiliki otonomi untuk berhubungan langsung dengan LN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik, ke-tiga terbesar di Asia.

 

Dalam konteks internasional, peranan Indonesia semakin penting di Asia Tenggara, terpilih sebagai anggota tetap forum G20, dan terlibat aktif dalam komunitas Asean.

 

Pendekatan polugri SBY secara garis besar adalah polugri ke segala arah atau all direction foreign policy dan sejuta teman non musuh atau a million friends zero enemy. Instrumen polugri berbasis hukum internasional. Serta pemulihan citra Indonesia di Luar Negri.

 

?Ini penting bagi civitas akademia karena isu polugri menjadi salah satu point penting dalam pemilu,? kata Santo. Ia juga mengingatkan masyarakat perlu mengetahui perkembangan ini agar dapat memberikan pemikiran kritis.

 

Sementara Aleksius mempertanyakan keberhasilan kepemimpinan SBY, mana yang lebih penting menjadi negarawan di mata masyarakatnya atau di mata internasional. Salah satu ukurannya bisa dilihat dari penerapan demokrasi dalam kepemimpinan SBY. Karena salah satu konteks polugri adalah demokrasi. Kita belum punya institusi-institusi demokrasi yang berkembang secara baik. Pooling menunjukkan kekecewaan pada institusi demokrasi. Padahal true demokrasi ada di institusi itu. Sebaiknya kita jangan terlalu bangga dengan demokrasi kita. Lebih baik membicarakan bagaimana membenahi lembaga demokrasi kita.

 

Kaitannya dengan SBY, selaku pemimpin partai berkuasa, belum mengambil inisiatif membangun blue print pengembangan politik ke depan. Ini menjadi kekecewaan publik termasuk dunia kampus.

 

Aleks juga kurang setuju dengan statement SBY terkait kasus FPI di Palang Karaya. ?Sebaiknya SBY tidak menyatakan statement apapun,? katanya. Masih ada lagi contoh kasus lainnya yang menjadi bad campaign demokrasi di Indonesia.

 

Jadi sebaiknya presiden perlu mengambil langkah-langkah untuk pencegahan, dengan menggunakan standard-standard hukum internasional.

 

Indonesia juga belum memiliki soft power, kata Aleks . Negara-negara yang mempromosikan soft power harus punya hard power. Karena keduanya dibangun secara simultan. Contohnya India memiliki soft power dengan bollywood-nya, tapi juga ia punya hard power.

 

Menyertakan daerah dalam globalisasi bisa jadi pedang bermata dua. Kalo kuat bisa survive atau sebaliknya, bisa-bisa kita dieksploitasi. Jadi supaya pertumbuhan ekonomi sustainable, harus didukung reformasi demokrasi menuju good governance.

 

Ia juga menyinggung Polugri Opportunity driven dari SBY. Dalam menggunakan opportunity Indonesia pengekspor keempat terbesar intra Asean. Kenapa terlalu agresif meliberalisasikan perdaganggan di Asteng, sementara Indonesia mendapat benefit paling sedikit. Kontribusi ekspor Indonesia pada GDP hanya 23,8%, sementara Thailand 71% dan Malaysia 97%. Artinya kita bukan trading state.   Jadi hati-hati, kita bisa untung atau jadi korban. Sudah saatnya foreign economic policy Indonesia harus data driven, dan integrated Asean policy. Jadi presiden perlu memperhatikan aspek koordinasi.

?Perlu ada eveluasi dengan indikator yang jelas tentang keberhasilan Indonesia di Asean dari sisi dalam,? tegas Aleks.

Million friends zero enemy, saya duga lahir dari keinganan untuk menyenangkan setiap orang. Ketakutan saya ini bisa mengaburkan identitas atau prinsip-prinsip kita. Jadi saya memilih principal foreign policy.

 

?Saya mengharapkan idealnya SBY menjadi negarawan di luar dan negarawan di dalam? kata Aleks mengakhiri pembahasannya. (rh)

 

UPH Media Relations