16/10/2015 Uncategorized
Studi Hubungan Internasional di tengah era globalisasi dan liberalisasi saat ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia baik di instansi pemerintah maupun swasta. Menjawab kebutuhan tersebut, Pascasarjana UPH meluncurkan Program Magister Hubungan Internasional
Di tengah era globalisasi dan liberalisasi saat ini, Ilmu Hubungan Internasional sangat dibutuhkan oleh Indonesia baik di instansi pemerintah maupun swasta. Menjawab kebutuhan tersebut, Program Pascasarjana UPH meluncurkan Program Magister Hubungan Internasional (MHI) pada hari Sabtu, 10 Oktober 2015, di kampus Pascasarjana UPH, Plaza Semanggi. Bersamaan dengan peluncuran program MHI digelar seminar bertajuk ?Kontribusi Studi Hubungan Internasional dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi Global? dengan menghadirkan pembicara Duta Besar Dr. Dino Patti Djalal, Duta Besar Prof. Makarim Wibisono, Ph.D dan Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D, Dekan FISIP UPH. Seminar ini dimoderatori oleh Yosef D. M. Djakababa, Ph.D. – dosen HI FISIP UPH, Director of the Center for Southeast Asian Studies.
Di awal acara Prof. Aleksius yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Hubungan Internasional, menyampaikan tujuan dari diluncurkannya program MHI adalah untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai pemikiran strategis, mampu mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang berdampak strategis bagi kemajuan bangsa. Ia juga berharap melalui seminar ini dapat membuka wawasan publik terhadap pentingnya pemikiran-pemikiran strategis bagi kebijakan luar negeri baik dalam pemerintahan maupun institusi swasta.
|
|
![]() Dr. Dino Patti Djalal
|
Acara dilanjutkan dengan seminar oleh para narasumber. Sesi pertama disampaikan oleh Duta Besar Dr. Dino Patti Djalal, dengan tema ?Apa yang berubah dari dunia internasional?. Lima hal yang menurut Dino berubah dari dunia internasional yaitu pertama, jumlah negara berubah drastis. Contohnya pada tahun 1945 jumlah anggota PBB 50an negara, sekarang hampir 200 negara. Atau 4x lipat dalam setengah abad. Artinya kondisi abad 21 jumlah negara sudah tidak akan bertambah drastis lagi.
Kedua, dulu kehadiran dunia Barat di Indonesia dipandang sebagai upaya untuk memecah belah, tetapi sekarang justru negara Barat belajar dari Indonesia. Bahkan tujuan strategis dari negara Barat sekarang adalah mendukung Indonesia sebagai negara yang utuh, bukan lagi memecah belah Indonesia, karena dengan demikian Barat bisa terhindar dari krisis global sebaliknya mendapatkan keuntungan investasi.
|
Ketiga, dulu ekonomi dunia dikuasai negara Barat, tetapi sekarang ekonomi dunia dikuasai emerging country seperti Brazil, China, India, Indonesia, dll. Negara-negara ini sekarang menjadi fenomena dalam sistem internasional. Hal ini seharusnya menjadi senjata Indonesia dalam kebijakan internasionalnya, yaitu bagaimana memposisikan dan mengkomunikasikan identitas bangsa Indonesia sebagai emerging power di dunia internasional.
Keempat, dulu size dipandang sebagai beban. Misalnya jumlah penduduk Indonesia yang banyak, kepulauan Indonesia yang luas, dulu dianggap beban. Padahal sekarang justru size tersebut menjadi aset dan bagian yang penting dalam pertumbuhan Indonesia sebagai emerging country.
Kelima, di abad 21, connectivity will be more important than sovereignty.Yang menentukan kemajuan dan keunggulan suatu negara adalah connectivity. Dulu connectivity lebih banyak dilakukan oleh wakil pemerintah melalui diplomasi, tetapi sekarang dalam perkembangan internet, media sosial dan berita viral, connectivity bisa sampai ke desa-desa dan menjangkau dunia luar. Jadi isu connectivity kini menjadi penting dalam kebijakan internasional. Belajar dari perubahan tersebut maka cara pandang dan pemikiran harus terbuka, Indonesia harus berani membuka diri.
|
||
|
Dalam konteks ini, maka pihak-pihak yang terlibat dalam menentukan regulasi internasional kini menjadi jauh lebih banyak, dimana ada representatif negara, orgnisasi dunia, NGO, sampai representatif media. Jadi sekarang dalam negosiasi dan diplomasi, harus melibatkan banyak pihak. Dalam upaya mengantisipasi impact dan challenge dari globalization dan liberalisation ada tiga cara: mengidentifikasi faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan, membuat formula kebijakan untuk merespon perubahan tersebut dan mengimplementasikan kebijakan.
|
||
Sesi terakhir disampaikan oleh Prof. Aleksius, memaparkan isu bagaimana Indonesia harus berespon terhadap perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat dan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti apa yang diperlukan untuk merespon terhadap tantangan tersebut. Untuk menjawab isu tersebut, Prof. Aleksius menjelaskan mengenai ?Kontribusi Studi HI dalam Mendesain Tata Kelola Hubungan Luar Negeri demi Martabat Bangsa?. Menurt Prof. Aleksius Studi Hubungan Internasional membantu kita untuk memahami variabel atau determinan domestik dan internasional yang signifikan dan bahkan kritikal pengaruhnya terhadap pencapaian kepentingan nasional di tengah arus globalisasi dan interdependensi yang semakin kuat.
Dalam paparannya ia menjelaskan mengenai best practices dari beberapa negara seperti Korea Selatan, Singapura dan China. Belajar dari ketiga contoh tersebut, membangun bargaining power dalam hubungan internasional harus berawal dari economic capabilities menuju political engagement yang efektif. Sementara evolusi tata kelola hubungan luar negeri RI dari pemerintahan orde lama, orde baru sampai era SBY menunjukkan pola terbalik yaitu dari political activivism beralih kepada prioritas diplomasi ekonomi pada masa sekarang ini.
Dalam kaitannya dengan studi HI, Prof Aleksius memaparkan beberapa hal yang dapat disumbangkan bagi persoalan-persoalan tersebut, diantaranya memberikan sumbangan pemikiran yang komprehensif dan jangka panjang mencakup seluruh aspek interaksi dengan dunia luar. Studi HI juga dapat memberikan kajian dan merekomendasikan policy alignment yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan internasional, memberikan pemikiran kritis dan obyektif kepada pemerintah terkait tata kelola hubungan luar negeri demi kepentingan nasional.
Usai presentasi dan tanya jawab, acara dilanjutkan peluncuran program MHI oleh Ketua Prodi MHI, Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D. dengan pemotongan tumpeng. Acara diadakan pada 10 Oktober 2015, di Kampus Pascasarjana UPH Plaza Semanggi, pukul 13.30 ? 17.00, dihadiri mahasiswa dan dosen dari UPH dan kampus lainnya diantaranya USNI (Satya Negara Indonesia), UNTAG, Kwik Kian Gie University, dan UNPAD. Ada pula peserta dari professional dan praktisi seperti dari law firms, ASEAN Secretariat, FPCI (Foreign Policy Community of Indonesia) dan World Vision Indonesia. (rh)
|