21/07/2025 Health Sciences
Masa remaja adalah fase pencarian jati diri yang penuh gejolak—termasuk pengalaman jatuh cinta untuk pertama kali. Di usia ini, rasa ingin tahu yang tinggi sering kali berjalan beriringan dengan emosi yang belum stabil dan sulit dipahami. Tak heran, banyak orang tua merasa kewalahan menghadapi dinamika anak ketika mulai mengenal cinta.
Data Indeks Ketahanan Remaja 2024 dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa 45,5% remaja usia 11–24 tahun di Indonesia pernah berpacaran. Lebih dari itu, sebagian besar dari mereka juga telah terlibat dalam relasi fisik (physical touch). Fakta ini menjadi pengingat bahwa relasi anak muda masa kini jauh lebih kompleks dan dinamis. Maka, kehadiran orang tua bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai pendamping yang bijak menjadi semakin penting.
Menanggapi kebutuhan tersebut, Allessandra Theresia, M.Psi., Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan (UPH), membagikan lima cara bijak yang dapat diterapkan orang tua dalam mendampingi anak melewati fase cinta pertamanya. Tips ini disampaikan dalam seminar virtual “Love, Trust, and Honest Talks: Parenting Teens in Their Romantic Years” yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UPH pada 5 Juli 2025. Berikut lima kiat praktis yang bisa menjadi panduan:
Pertama: Dengarkan Dulu, Jangan Langsung Menilai
Ketika anak mulai bercerita tentang orang yang mereka sukai, respons pertama orang tua sangat menentukan. Kalimat seperti, “Pacaran? Belajar dulu yang benar!” bisa membuat anak merasa dihakimi dan akhirnya menutup diri. Sebaliknya, cobalah merespons dengan hangat dan terbuka, seperti: “Oh ya? Kamu suka dia karena apa?”
“Remaja butuh tempat aman untuk mengekspresikan perasaan mereka. Kalau setiap kali cerita langsung disambut dengan ceramah atau kritik, mereka bisa kapok dan akhirnya memilih untuk menyembunyikan banyak hal dari orang tuanya,” jelas Allessandra.
Kedua: Gunakan Pertanyaan Terbuka, Bukan Nada Interogasi
Alih-alih bertanya dengan nada menyelidik seperti “Kamu pacaran ya?”, cobalah membuka percakapan dengan pertanyaan reflektif, misalnya: “Menurut kamu, pacaran sehat itu seperti apa?” atau “Kamu nyaman ngobrol sama dia karena apa?”
Pendekatan ini membantu anak merasa dihargai dan dipercaya. Kunci komunikasi yang sehat bukan hanya soal bertanya, melainkan tentang bagaimana menciptakan ruang aman bagi anak untuk menjawab dengan tenang dan merasa aman.
Ketiga: Bantu Anak Memahami Apa yang Ia Rasakan
Rasa suka, tertarik, kagum, hingga cinta seringkali membaur dan membingungkan bagi remaja. Emosi mereka bisa sangat intens, tapi belum tentu mereka memahami apa yang sebenarnya mereka rasakan.
Di sinilah orang tua berperan sebagai pendamping, bukan pengatur. Ajak anak mengenali mengenali dan mengelola emosinya, serta tanamkan bahwa cinta yang sehat berpijak pada rasa saling menghargai, mendukung, dan tidak memaksa. Bimbinglah mereka dengan empati, bukan dengan kontrol.
Keempat: Orang Tua sebagai Kompas Emosional Anak
Dalam banyak keluarga, ayah dan ibu sering kali memiliki gaya pendekatan yang berbeda. Ibu cenderung lebih aktif dan cemas, sementara ayah bisa nampak lebih santai atau bahkan pasif. Padahal, anak membutuhkan dua sosok yang seimbang—ibu yang bisa diajak berbagi dan ayah yang memberi rasa aman.
“Karena itu kuncinya adalah satu suara dalam pengasuhan. Anak belajar memahami dunia dari bagaimana orang tuanya merespons situasi. Maka, jadilah kompas emosional yang stabil, yang menunjukkan arah, bukan membingungkan,” ujar Allessandra.
Kelima: Saat Anak Terjebak dalam Hubungan yang Tidak Sehat, Apa yang Harus Dilakukan?
Cinta pertama bisa membawa euforia yang manis, tapi juga luka yang mendalam. Tanda-tanda anak berada dalam hubungan yang tidak sehat bisa berupa perubahan sikap, seperti menjadi murung, mudah marah, menarik diri dari teman, atau kehilangan minat pada hal-hal yang disukai.
Jika ini terjadi, hindari sikap memarahi bahkan menghakimi. Sebaliknya, dekati mereka dengan empati dan ciptakan ruang dialog penuh pengertian. Tanyakan perasaannya secara lembut. Bila perlu, ajak berdiskusi dengan psikolog atau konselor.
Obrolan santai saat menonton film bersama juga bisa menjadi pintu masuk membuka hati anak. Cobalah bertanya: “Menurut kamu, hubungan di film ini sehat nggak?” atau “Apa yang bikin kamu merasa nyaman dalam sebuah hubungan?”
“Pertanyaan ringan seperti ini bisa membuka ruang aman untuk anak bercerita. Di sinilah peran orang tua penting. Orangtua bukan hadir untuk mengontrol, tapi membimbing. Bantu anak mengenali perasaan, memahami batasan, serta arti hubungan sehat dan tanggung jawab” tambah Allessandra.
Menjawab Tantangan Zaman, UPH Hadir untuk Orang Tua dan Anak
Seminar ini merupakan bagian dari komitmen Universitas Pelita Harapan (UPH) dalam membentuk generasi muda yang unggul—tidak hanya secara akademik, tetapi juga secara mental, emosional, dan spiritual. UPH percaya bahwa pembentukan karakter dimulai dari keluarga. Oleh karena itu, mendampingi para orang tua dalam menghadapi dinamika pengasuhan remaja menjadi langkah strategis dalam menyiapkan anak-anak yang sehat secara psikis, berintegritas, dan siap mengejar panggilan hidup mereka.
Dengan dukungan orang tua yang aktif dan penuh kasih, UPH terus berkontribusi dalam membentuk pemimpin masa depan yang takut akan Tuhan dan mampu membawa dampak positif bagi masyarakat, bangsa, dan dunia.