Di tengah persaingan dunia kerja yang semakin ketat, sertifikasi kompetensi kini menjadi kebutuhan penting. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) menunjukkan bahwa pada Kuartal I 2025, sudah ada 187.811 tenaga kerja Indonesia yang memiliki sertifikasi. Angka ini menegaskan bahwa pengakuan kompetensi yang terstandar semakin dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas individu dan daya saing bangsa di pasar global. Salah satu cara yang dinilai efektif dalam memenuhi kebutuhan tersebut adalah melalui program micro-credential—program pembelajaran bersertifikat resmi yang bersifat fleksibel, dapat diakses secara daring, diselesaikan dalam waktu singkat, dan menawarkan materi yang relevan dengan kebutuhan industri.
Melihat perkembangan ini, Center for Teaching and Learning (CTL) Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Indonesia Cyber Education Institute (ICE Institute) menyelenggarakan seminar “Policy Dialogue 2025: Embracing Digital Era with Micro-credential” pada 17 November 2025 di UPH Lippo Village, Karawaci, Tangerang. UPH sebagai tuan rumah menegaskan komitmennya dalam mendukung pengembangan ekosistem micro-credential di Indonesia, termasuk pemanfaatan teknologi digital dan Artificial Intelligence (AI) untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.
“UPH selalu berupaya melihat ke depan, di mana teknologi digital merupakan masa depan. Kami yakin sistem pembelajaran ke depan akan dipengaruhi oleh micro-credential, dan UPH akan terus mengembangkannya,” kata Rektor UPH, Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng., Sc.
ICE Institute sendiri merupakan lembaga nasional yang dikelola Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI melalui Universitas Terbuka. Lembaga ini berperan sebagai marketplace pembelajaran digital yang menyediakan berbagai kursus, program micro-credential, dan program pendidikan dari perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan dalam dan luar negeri.
Lalu, apa saja keunggulan micro-credential? Berikut penjelasannya.
Menurut Prof. Dr. Ali Muktiyanto, S.E., M.Si., Ketua Konsorsium ICE Institute sekaligus Rektor Universitas Terbuka, perguruan tinggi perlu menghadirkan sistem pembelajaran adaptif agar tetap relevan di era digital. Micro-credential memungkinkan peserta belajar kapan saja dan di mana saja, fokus pada satu keterampilan spesifik, sehingga proses pembelajaran lebih efektif dan cepat selesai.
“Kami ingin mahasiswa dapat mengakses materi yang benar-benar meningkatkan kompetensi dan profesionalisme mereka. Dengan micro-credential, proses upskilling bisa berlangsung lebih cepat dan terarah,” ujar Prof. Ali.
Prof. Dr. Paulina Pannen, M.Ls., Senior Advisor ICE Institute, menjelaskan bahwa micro-credential berfungsi sebagai jembatan antara pendidikan tinggi dan keterampilan yang dibutuhkan industri. Model pembelajaran singkat dan terfokus ini mulai diakui secara global sejak UNESCO memperkenalkannya pada 2021. Keunggulannya terletak pada kemampuan menyesuaikan materi dengan kebutuhan industri, sehingga peserta memperoleh keterampilan yang relevan dan diakui secara luas.
“Sistem ini membantu mahasiswa dan pekerja mengembangkan keterampilan yang diakui, sekaligus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan tuntutan industry,” jelas Prof. Paulina.
Prof. Dr.rer.pol. Heri Kuswanto, M.Si., Direktur Talenta Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek RI, menekankan bahwa micro-credential memberikan pengakuan kompetensi resmi dan terstandar. Sertifikat ini menjadi nilai tambah saat melamar pekerjaan karena membuat peserta lebih menonjol dibanding kandidat yang hanya memiliki gelar akademik konvensional.
Indonesia juga telah memperkuat posisi micro-credential melalui Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025, yang menempatkannya sebagai bagian dari transformasi pendidikan tinggi. Kebijakan ini mendorong perguruan tinggi mengembangkan pembelajaran yang berorientasi kompetensi, lebih fleksibel, dan dapat diakses berbagai lapisan masyarakat.
“Micro-credential membuka akses lebih besar bagi pekerja, pelajar, dan masyarakat yang ingin meningkatkan keterampilan tanpa harus meninggalkan pekerjaan atau tanggung jawab keluarga. Dengan pembelajaran fleksibel, terjangkau, dan relevan, Indonesia dapat mewujudkan pendidikan yang inklusif dan memberdayakan,” ujar Prof. Heri.
Dukungan UPH terhadap Micro-Credential
Dr. Rijanto Purbojo, S.Psi., M.Sc., Direktur CTL UPH, menekankan bahwa micro-credential bukan sekadar tren, melainkan strategi untuk menjaga keberlanjutan dan daya saing universitas. Untuk memastikan implementasinya berjalan efektif, ia menyoroti perlunya kolaborasi tiga pihak, yakni pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta. Menurutnya, perguruan tinggi harus mampu menyesuaikan diri dengan regulasi nasional, standar akreditasi, serta dinamika kebutuhan industri. Selain itu, pemberdayaan dosen juga menjadi fokus penting.
“Dosen tidak hanya mengajar, tetapi juga mengembangkan inovasi pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan industri. Micro-credential hanyalah alat, sementara tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas pengajaran dan membentuk generasi mahasiswa Indonesia yang siap menghadapi tantangan global,” ujar Dr. Rijanto.
Saat ini, UPH melalui CTL telah menyediakan lebih dari 60 kursus micro-credential di berbagai bidang, mulai dari Music & Art, Business & Management, Education, Technology & Engineering, Library, Food & Beverages, Law, hingga Health & Wellness. Kehadiran ragam course ini menegaskan komitmen UPH dalam menghadirkan pembelajaran yang relevan, adaptif, dan mendukung mahasiswa mengembangkan kompetensi sesuai minat serta kebutuhan industri.
Dengan hadirnya berbagai program micro-credential, mahasiswa UPH memperoleh kesempatan nyata untuk membangun kompetensi yang relevan, terukur, dan diakui secara profesional. Pembelajaran yang fleksibel dan berbasis kebutuhan industri ini tidak hanya meningkatkan kapasitas diri, tetapi juga mempersiapkan mahasiswa untuk tampil lebih unggul di tengah persaingan global. Langkah ini sejalan dengan komitmen UPH dalam menghasilkan lulusan yang takut akan Tuhan, unggul, dan siap berdampak bagi bangsa dan dunia.