NEWS & PUBLICATION

DKV UPH Bahas Pergeseran Sinema ke Multiplatform dan Tantangan di Era Digital di IMOVICCON 2025 

04/12/2025 Art, Culture, Music & Design

DKV UPH Bahas Pergeseran Sinema ke Multiplatform dan Tantangan di Era Digital di IMOVICCON 2025 

Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia memproduksi, menyebarkan, dan memahami gambar bergerak. Dari film layar lebar hingga konten media sosial, bahkan permainan video dan Virtual Reality (VR), pengalaman visual kini melintasi berbagai platform, menghadirkan tantangan baru bagi kreator dan audiens. Fenomena ini menjadi fokus utama Interactive Moving Image Conference (IMOVICCON) 2025, yang digelar pada 21 November 2025 di Universitas Pelita Harapan (UPH). Mengangkat tema “The Cultural Shift from Moving Image to Image Moving”, konferensi ini menghadirkan Peter Hegedüs, Associate Professor Griffith Film School, Australia dan Riri Riza, sutradara Indonesia. 

IMOVICCON adalah konferensi dua tahunan hasil kolaborasi Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) UPH dan Program Studi Film Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Acara ini menjadi ruang dialog bagi mahasiswa, akademisi, dan praktisi kreatif untuk menelaah tren terbaru industri visual. Tahun ini, konferensi menyoroti pergeseran visual bergerak yang tidak lagi terpaku pada satu medium. Konten dari film, game, media sosial, VR, hingga kecerdasan buatan kini saling beririsan, membentuk pola konsumsi visual yang lebih fleksibel dan lintas platform. 

Dalam sambutannya Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., Executive Dean College of Arts and Social Sciences (CASS) UPH berharap, IMOVICCON menjadi ruang pembelajaran kritis dan inspiratif bagi mahasiswa. 

“Melalui forum ini, kami ingin mahasiswa mampu membaca perubahan zaman, memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab, dan menghasilkan karya yang inovatif sekaligus berdampak bagi masyarakat. Kehadiran dua pembicara internasional ini menjadi kesempatan langka untuk belajar langsung dari praktisi yang berada di garis depan perkembangan industri visual global,” ujarnya. 

Peter Hegedüs: Nilai Kemanusiaan adalah Inti 

Dalam paparannya, Peter Hegedüs menegaskan bahwa kekuatan cerita dan nilai kemanusiaan harus menjadi inti setiap karya, sementara teknologi hanyalah alat pendukung. Menurutnya, imajinasi, rasa ingin tahu, dan pengalaman manusia memberi makna pada visual, sehingga teknologi seharusnya memperkuat, bukan menggantikan. 

“Industri visual saat ini berada pada titik pergeseran signifikan. Rentang perhatian manusia semakin singkat, notifikasi digital hadir tanpa henti, dan gambar bergerak melintasi berbagai platform. Fenomena yang saya sebut ‘image traveling’ ini mengubah cara audiens berinteraksi dengan konten dan memengaruhi peran kreator,” jelas Peter. 

Lebih lanjut, Peter menjelaskan bahwa pembuat film, animator, atau desainer visual kini bekerja secara multifungsi—menulis, menyunting, mendesain, dan memanfaatkan kecerdasan buatan. Fleksibilitas ini menuntut kreator untuk tetap adaptif dan mampu menyeimbangkan inovasi teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. 

“Biarkan kemanusiaan yang membimbing teknologi. Kreator harus menempatkan nilai, empati, dan integritas sebagai kompas dalam berkarya, bahkan di tengah derasnya inovasi digital,” tegasnya. 

Selain itu, Peter juga turut memberikan enam hal penting bagi pembuat konten yakni, menghormati proses kreatif, bercerita dari pengalaman otentik, membangun jembatan melalui karya, merangkul dunia yang terkoneksi, mengembangkan keterampilan dengan integritas, dan menjadikan nilai kemanusiaan sebagai panduan inovasi. Pesan ini menegaskan bahwa karya visual yang bermakna tidak sekadar mengikuti tren, tetapi mampu menyentuh manusia. 

Riri Riza: Menjaga Warisan Sinema di Era Baru 

Usai pembahasan terkait nilai kemanusiaan oleh Peter, lebih lanjut Riri Riza menekankan peran sinema dalam membangun peradaban. Baginya, film membawa identitas budaya, nilai sejarah, dan estetika suatu bangsa. Karena itu, menurut Riri, teknologi seharusnya memperkaya pengalaman sinema, bukan mengaburkan prinsip artistik di tengah menjamurnya berbagai medium dan platform. 

Riri juga menyoroti pentingnya arsip film sebagai fondasi keberlanjutan sejarah visual. Ia menjelaskan, lembaga-lembaga arsip global sejak awal abad ke-20 bukanlah hanya tempat penyimpanan, melainkan institusi yang menjaga teori, estetika, dan identitas film lintas generasi. Tanpa pengarsipan dan restorasi, karya film berisiko hilang dari ingatan kolektif. 

Menutup paparannya, Riri mengajak generasi kreator untuk memikirkan jejak dan keberlanjutan karya. “Menjaga warisan sinema sama pentingnya dengan berinovasi. Masa depan industri film dibangun melalui keseimbangan antara pelestarian dan pembaruan. Mahasiswa harus menjadi generasi yang tidak hanya mencipta, tetapi juga merawat sejarah sinema agar tetap hidup dan relevan,” ucap Riri. 

IMOVICCON 2025 menegaskan bahwa di tengah derasnya inovasi digital, teknologi tidak boleh berdiri sendiri. Kemajuan medium, platform, dan kecerdasan buatan hanya bermakna ketika dipadukan dengan nilai, sejarah, dan kemanusiaan yang memperkaya karya visual. Dialog antara akademisi dan praktisi memberi mahasiswa pemahaman bahwa masa depan industri kreatif tidak semata bergantung pada kecanggihan alat, tetapi juga pada kemampuan kreator menjaga empati, integritas, dan sensitivitas budaya. 

Pendekatan ini selaras dengan komitmen UPH dalam mempersiapkan lulusan yang bukan hanya profesional, tetapi juga berkarakter takut akan Tuhan dan siap berdampak melalui karya yang relevan dan bermakna bagi masyarakat.