Negara-negara di Sub-Sahara Africa untuk sepuluh tahun terakhir ini telah berkembang secara pesat. Investor Indonesia masih memberika label miskin, kekeringan, narkoba, HIV, negara yang penuh perang sipil dan korupsi ke Afrika.
![]() |
![]() |
Seminar dihadiri 60 orang yang berasal dari UPH dan Kementrian. | (kanan-kiri) Dr. Talib (Komite Kadin), Prof. Dr. Zainuddin Djafar (Universitas Indonesia), Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D. (UPH), Bapak Andradjati (Duta Besar Indonesia untuk Senegal), dan moderator A.H. Kusumaningprang (Aspasaf Kemlu). |
Negara-negara di Sub-Sahara Africa untuk sepuluh tahun terakhir ini telah berkembang secara pesat. Investor Indonesia masih memberika label miskin, kekeringan, narkoba, HIV, negara yang penuh perang sipil dan korupsi ke Afrika. Pada kenyataannya, negara-negara di Afrika telah berkembang pesat secara ekonomi karena mereka memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Situasi ini memberikan kesempatan besar ke investor Indonesia untuk berinvestasi. Inilah yang Andradjati, Duta Besar Indonesia untuk Senegal, katakan dalam Seminar berjudul ?Pengembangan Hubungan Bilateral antara Indonesia dan negara-negara Sub-Sahara Afirka dan Serikat Afrika? yang diadakan di UPH, Tangerang. Duta Besar Andradjati mengatakan bahwa investor Indonesia harus lebih agresif dalam mencari kesempatan di negara Sub-Sahara Afrika. Tiga pembicara lainnhya adalah Prof. Dr. Zainuddin Djafar (Universitas Indonesia), Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPH), and Dr. Talib (Komite Kadin). Prof. Dr. Zainuddin Djafar menyatakan bahwa Indonesia tertinggal dari Singapura dan Malaysia yang telah berkembang sampai Afrika sedangkan Indonesia secara historis memiliki hubungan baik dengan Afrika, contohnya seperti di konferensi Asia-Afrika. Cina dan India adalah salah satu negara Asia yang berani untuk berinvestasi di Afrika. ?Mereka mempunyai semangat untuk bisnis,? tambahnya. India, sebagai contohnya, mengirimkan para petani dan pebisnisnya ke Afrika. Sementara itu, Prof. Aleksius menyebutkan bahwa kebijakan asing Indonesia harus mendukung ekonomi. ?Kebijakan asing Indonesia menitikberatkan pada politik. Tidak heran, ekspor hanya memberikan kontribusi tiga persen ke PDB,? kata Aleksius. Indonesia memiliki kesempatan untuk memperluas hubungan bilateral dengan negara-negara Afrika, tambahnya. Pertama, keanggotaan Indonesia di G-20, kedua, Indonesia sebagai salah satu negara yang ekonominya sedang berkembang memiliki potensi untuk meningkatkan ekonomi kedua negara. Ketiga, Indonesia bisa menjadi model panutan untuk mengatasi konflik dan perbedaan etnis yang terjadi di Afrika, dan keempat, kedua negara memiliki kebutuhan yang sama untuk memperjuangkan ekonomi hijau yang disebutkan di KTT Bumi. Dia menambahkan bahwa pemerintah tidak agresif dalam mendekati Afrika. ?Kita perlu mempelajari strategi dan kebijakan Cina di Afrika,? kata Aleksius. Beberapa pelajaran yang bisa kita lihat dari Cina, kata Aleksius, adalah tindakan nyata dan komitmen yang dilakukan oleh pemerintah yang didukung dengan kekuatan ekonomi dapat membuat Indonesia memiliki peran signifikan di Afrika. Partisipasi dari investor Indonesia melihat adanya kesempatan di Afrika, menggunakan pasar sebagai pilihan untuk meningkatkan ekspor dan partisipasi universitas dari Indonesia untuk mengembangkan pusat pembelajaran di Afrika. Seminar ini dihadiri kurang lebih 60 orang; mahasiswa, dosen, pengamat dan pegawai Kementrian. (ros) UPH Media Relations |