Dukung Kemajuan Industri Penerbangan Indonesia, Prodi Doktor Hukum UPH Gelar Seminar Nasional.

Sejak pulih dari pandemi Covid-19, perekonomian dan mobilitas masyarakat Indonesia, terutama dalam hal transportasi udara secara perlahan mulai pulih. Meskipun demikian, industri penerbangan masih menghadapi tantangan lantaran banyak pesawat yang belum prima atau tidak laik terbang karena lama tidak beroperasi. Kondisi ini mendorong operator pesawat terbang untuk cenderung menyewa pesawat ketimbang membeli. Hal ini karena jika membeli pesawat, selain harus menanggung biaya pilot dan parkir di bandara, juga diperlukan biaya perawatan yang signifikan.

Pemulihan industri penerbangan perlu didukung dengan pengaturan terkait pembiayaan pesawat, termasuk melalui penerapan Konvensi Cape Town 2001 yang mengatur kepentingan internasional atas benda bergerak, khususnya pesawat terbang. Konvensi Cape Town adalah standar internasional yang menjadi dasar dalam transaksi ekonomi pesawat terbang. Konvensi ini mulai berlaku sejak 1 Maret 2006 dan telah diratifikasi atau diadopsi oleh 57 negara, termasuk Indonesia sejak 2008.

Standar internasional yang telah ditetapkan dalam konvensi ini meliputi pendaftaran perjanjian jual beli (termasuk lembaga pendaftarannya; kepentingan keamanan; sewa menyewa dan perjanjian jual beli tertentu; langkah-langkah hukum yang bisa dilakukan menghadapi wanprestasi maupun gagal bayar seperti pengambilalihan objek yang diperjanjikan; serta dampak dari ketentuan kepailitan negara). Selain Konvensi Cape Town, Indonesia juga memiliki peraturan terkait pembiayaan pesawat terbang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Penerbangan).

Untuk membahas hal ini, Program Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Implementasi Konvensi Cape Town dan Undang-Undang Penerbangan: Model Pengaturan Pembiayaan Pesawat Terbang Komersil untuk Mendorong Kemandirian Penerbangan di Indonesia”. Seminar yang digagas mahasiswa Prodi Doktor Hukum UPH angkatan 2021 ini diselenggarakan secara hybrid dan di Kampus Pascasarjana UPH, Jakarta, pada 31 Juli 2023.

Ketua Program Studi Doktor Hukum UPH, Dr. V. Henry Soelistyo Budi, S.H., LL.M., menjelaskan, “Industri penerbangan memerlukan pemulihan. Pertanyaannya, apa yang dibutuhkan untuk mendukung pemulihan industri penerbangan nasional? Fokusnya adalah pada kontrak-kontrak antara lessor (pihak yang menyediakan modal berupa barang atau alat untuk disewakan) dengan lessee (pihak yang menyewa). Aspek penyewaan ini perlu dianalisis untuk memahami permasalahan yang ada.”

Seminar Nasional

Dalam seminar nasional, terdapat empat narasumber yang berpartisipasi, Prof. Dr. Haswandi, S.H., S.E., M.Hum., M.M., selaku Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA); Anggia Rukmasari, S.H., LL.M., selaku Ketua Masyarakat Hukum Udara; Israfulhayat selaku Kepala Bagian Hukum Sekretariat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub); serta Denon Berriklinsky Prawiraatmadja selaku Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA). Seminar ini dimoderatori oleh Hendra Ong, S.H., LL.M., selaku Senior Partner dari firma hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (Dentons HPRP), yang juga merupakan mahasiswa Prodi Doktor Hukum UPH angkatan 2021.

Dalam seminar, Anggia menyampaikan bahwa terdapat tidak konsistensian dalam penerapan Konvensi Cape Town dan UU Penerbangan tercermin dalam beberapa kasus. Ia memberi contoh pada tahun 2019, ketika Pacific Air Holding DBA Delta Wings Equipment menggugat PT Spirit Avia Sentosa karena wanprestasi akibat gagal membayar pesawat yang disewanya. Pacific Air Holding selaku penggugat, berupaya untuk mengambil kembali kepemilikan atas pesawat tersebut. Namun, Pengadilan Negeri (PN) Merauke menolak permintaan ini karena dinilai harus melakukan gugatan terhadap pokok perkara terlebih dahulu. Tidak hanya itu, penetapan pengadilan memakan waktu 21 bulan.

Padahal, berdasarkan Pasal 79 UU Penerbangan, lessor memili hak untuk meminta penetapan pengadilan negeri jika lessee tidak dapat memenuhi kewajibannya. Menurut ketentuan pasal tersebut, penetapan pengadilan memerlukan gugatan pokok perkara terlebih dahulu, mediasi tidak diperlukan, dan penetapan dari pengadilan negeri dapat diperoleh dalam waktu 10 hari.

Kasus lain terjadi pada tahun 2020, di mana Brichmond PTE LTD menggugat Carpediem Mandiri Corp dan PT Carpediem Aviasi Mandiri karena tidak melakukan pembayaran angsuran pesawat sesuai tanggal yang telah ditetapkan. Dalam kasus ini, hakim PN Nabire menetapkan dan mengabulkan gugatan tersebut dengan memberikan penetapan sementara. Tindakan PN Nabire ini menunjukkan bahwa hakim telah menerapkan Pasal 79 UU Penerbangan.

“Adanya ketidakseragaman dalam penerapan upaya kepemilikan kembali oleh pengadilan serta perbedaan interpretasi hukum dan regulasi di wilayah Indonesia dapat menimbulkan ketidakpastian, dan ditakutkan memberikan kekhawatiran bagi pihak lessor untuk memberikan pembiayaan ke operator-operator dalam negeri,” ucap Anggia.

Menanggapi permasalahan yang disampaikan oleh Anggia, Prof. Haswandi mengakui bahwa banyak hakim di Indonesia yang belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai hukum penerbangan. Di sisi lain, fakultas hukum di Indonesia juga belum memiliki jurusan yang fokus pada hukum penerbangan.

Ia juga menjelaskan, “Diperlukan inisiatif dari Masyarakat Hukum Penerbangan untuk meminta bantuan kepada ketua MA agar masalah ini dapat diatasi. Selanjutnya, kami akan membentuk tim khusus yang akan menangani permasalahan ini melalui penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau Peraturan Mahkamah Agung (Perma)”.

Dari perspektif Sekretariat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Israfulhayat mengusulkan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan ini, yaitu dengan melakukan diskusi persuasif yang mempertemukan lessee dan lessor.

Menanggapi diskusi tersebut, Denon menyatakan bahwa meratifikasi Konvensi Cape Town merupakan bukti upaya pemerintah Indonesia untuk mengawasi para pengusaha di sektor penerbangan guna menciptakan transportasi udara yang ekonomis. Namun, ia mengkritisi bahwa jika peraturan-peraturan tersebut tidak dijalankan dengan konsisten, hal ini justru akan merugikan masyarakat Indonesia.

“Perlu kita ketahui bahwa penerima manfaat sesungguhnya dari transportasi udara itu adalah masyarakat, terutama dalam hal tarif tiket yang terjangkau konektivitas antar tempat. Oleh karena itu, kebijakan apa pun yang ditetapkan oleh pemerintah akan berdampak langsung pada masyarakat,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia ini.

Menambahkan pandangan dalam diskusi, Hendra Ong menyoroti bahwa implementasi Konvensi Cape Town dipantau oleh lembaga internasional bernama Aviation Working Group (AWG), di mana Indonesia mendapatkan nilai 2,5 dari skala 5. Menurut Hendra, skor yang rendah tersebut membuat rating Indonesia dalam industri penerbangan menjadi rendah.

“Dengan implementasi Cape Town yang baik, diharapkan Indonesia dapat memiliki rating yang baik sehingga bisa mendapatkan pembiayaan pesawat terbang, baik dari sumber lokal maupun internasional,” tutur Hendra yang juga merupakan Alumni program Strata Satu (S1) Ilmu Hukum UPH.

Untuk diketahui, Seminar Nasional ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk menyambut Dies Natalis Prodi Doktor Hukum UPH ke-20, yang puncak perayaannya pada 3 Oktober 2023 mendatang. Kegiatan ini melibatkan peran aktif para mahasiswa dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan akademis, termasuk seminar, bedah buku, serta acara bersama Ikatan Alumni Doktor Hukum UPH.

Tentang Doktor Hukum UPH

Program Doktor Hukum secara eksklusif dirancang untuk membekali mahasiswa berprestasi dengan keterampilan penelitian lanjutan. Mahasiswa dapat memulai penelitian disertasi di semester 3 dan bekerja sama dengan penasihat di seluruh program. Prodi Doktor Hukum UPH siap membentuk mahasiswa menjadi pakar dan profesional di bidang hukum untuk berdampak nyata dalam dunia kerja maupun bermasyarakat. Informasi lebih lanjut hubungi 0812-8535-2278 atau daftar di sini.