NEWS & PUBLICATION

‘Bar Tunggal’ di Dunia Pengacara Indonesia

13/04/2009 Uncategorized

‘Bar Tunggal’ di Dunia Pengacara Indonesia

full_address

Program pascasarjana UPH mengadakan seminar yang berjudul ?Memilih Profesi Advokat yang Sesuai dengan Budaya Hukum Indonesia? dengan tujuan untuk mempersiapkan mahasiswa agar suatu hari dapat menjadi pengacara yang terkualifikasi.

Anggota Komisi III DPR-RI, Gayus Lumbuun membahas kebutuhan akan pengacara yang terkualifikasi di dunia pemerintahan Indonesia.

Jakarta (2/9/09) ? Program pascasarjana UPH mengadakan seminar yang berjudul ?Memilih Profesi Advokat yang Sesuai dengan Budaya Hukum Indonesia? dengan tujuan untuk mempersiapkan mahasiswa agar suatu hari dapat menjadi pengacara yang terkualifikasi. Seminar yang mengundang beberapa pengacara senior sepertti: Anggota Komisi III DPR-RI, Gayus Lumbuun; Mantan Hakim Federal, Benjamin Mangkoedilaga, dan Kepala PERADI, Otto Hasibuan telah menarik perhatian para mahasiswa program sarjana dan pascasarjana Fakultas Hukum.

Anggota Komisi III DPR-RI, Gayus Lumbuun menyatakan tidak hanya di dunia sekuler saja namun di dunia pemerintahan juga pengacara terkualifikasi sangat dibutuhkan. Ia mengatakan posisi seperti hakim federal harus diisi oleh mereka yang memiliki latar belakang pengacara profesional.

Mantan Hakim Federal, Benjamin Mangkoedilaga, menambahkan pernyataan Lumbuun dengan mengatakan Indonesia sekarang memerlukan pengacara terkualifikasi seperti pada saat era kemerdekaan dulu. ?Kami mengundang mereka yang ingin menjadi pengacara profesional untuk terus berusaha mengembangkan sistem keadilan negara ini,? katanya.

Lumbunun menyatakan persepsi masyarakat akan profesi pengacara akhir-akhir ini tidak mencerminkan fungsi dan tugas sebenarnya dari seorang pengacara. Ia menyayangkan masyarakat yang memiliki asusmi bahwa pengacara adalah seseorang yang dibayar untuk mempertahankan hak hukum kliennya. Padahal faktanya, pengacara juga adalah penegak hukum seperti hakim federal.

Terjadi pula di seminar ini, konflik berkelanjutan antara dua institusi pengacara di Indonesia yaitu PERADI dan KAI. Konflik ini membahas institusi mana yang seharusnya menjadi institusi legal di negara ini. Kepala PERADI, Otto Hasibuan yang hadir sebagai salah satu pembicara mengatakan, ?Saya tidak melihat adanya kemungkinan untuk rujuk karena pada dasarnya tidak ada konflik yang terjadi. Apa yang bisa saya sampaikan adalah tujuan kami dari awal sampai seterusnya adalah untuk menegakkan hukum.?

Konflik ini juga dibahas oleh Mangkoedilaga di seminar yang diadakan di gedung kampus Pascasarjana UPH di Wisma Slipi, Jakarta. Mangkoedilaga menyatakan masalah ini seperti bom waktu yang harus diselesaikan secepatnya. Namun, menanggapi pernyataan Hasibuan, di mana tidak ada konflik yang terjadi antara PERADI dan KAI, Mangkoedilaga mengatakan, ?Tidak ada yang bisa dilakukan dengan hukum dan keadilan, namun tidak ada konflik yang sedang terjadi.?

Sementara itu, Lumbuun dan Hasibun setuju bahwa pemerintah perlu memutuskan siapa yang akan menjadi ?bar tunggal? di sistem pengacara Indonesia. ?Masalahnya adalah dua bar pengacara sekarang, PERADI dan KAI.? Kata Lumbuun. Hasibuan sendiri menyatakan, ?Tidak ada institusi yang tidak menyetujui PERADI sebagai institusi pengacara Indonesia.? Masalah ini masih belum menemukan titik keluarnya yang akhirnya menyebabkan kekhawatiran akan bagaimana sistem pengacara Indonesia akan bergerak. Moderator dalam seminar ini, dan juga Kepala Program Pascasarjana Hukum UPH, Lintong Siahaan menyatakan kekhawatiran akan masa depan pengacara Indonesia yang baru saja lulus dan sebentar lagi akan masuk untuk tes anggota pengacara legal.

Mengenai masalah ini, Mangkoedilaga mengatakan ia tidak merasa terganggu. ?Pada dasarnya, kita semua yang bekerja di dunia hukum dan keadilan hanya memiliki satu tujuan yaitu untuk menegakkan keadilan,? katanya. Mangkoedilaga juga menambahkan kandidat pengacara di Indonesia memerlukan pendidikan speasialisasi di beberapa bidang.

 

UPH Media Relations