Semakin bermutu jurnalisme dalam sebuah masyarakat maka akan semakin bermutu pula informasi yang akan didapatkan masyarakat.
Semakin bermutu jurnalisme dalam sebuah masyarakat maka akan semakin bermutu pula informasi yang akan didapatkan masyarakat.
Semakin bermutu jurnalisme dalam sebuah masyarakat maka akan semakin bermutu pula informasi yang akan didapatkan masyarakat. Begitu lah yang dikatakan Andreas Harsono, Chairman dari PANTAU Foundation dalam acara diskusi buku Lee C. Bollinger bertajuk ?Uninhibited, Robust, and Wide-Open ? A Free Press for A New Century? pada 12 Maret 2010 di Grand Ballroom A Hotel Aryaduta, Jakarta.
Andreas mengatakan pers Indonesia sebaiknya mengikuti jejak pers Amerika Serikat yang memiliki misi untuk melayani ketertarikan masyarakat (public interest), bukan ketertarikan golongan. Berkaitan dengan pernyataan awalnya, ia menganalogikan dalam suatu masyarakat, di mana medianya atau komunikasinya makin bermutu, makin baik, maka makin bermutu pula proses pengambilan keputusan di masyarakat bersangkutan.
Maka proses untuk mendapatkan informasi yang bermutu itu perlu dilindungi. Perlindungan itulah yang disebut kebebasan pers. Artinya pers atau media harus bebas agar kehidupan masyarakat terlindungi.
Di Indonesia memang secara teoritis ada jaminan terhadap kebebasan pers. ?Namun kalau kita lihat hukum-hukum yang ada, sejak Indonesia dibilang merdeka sampai hari ini, masih banyak hukum-hukum yang tidak menjamin kebebasan pers. Di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, ada 38 pasal yang bertentangan dengan kebebasan pers. Itu kesimpulan Dewan Pers,? kata jurnalis yang sudah lebih dari 10 tahun bergelut di dunia ini.
Ancaman terhadap kebebasan pers juga bisa muncul dari pemilik media itu, misalnya dengan alasan bisnis. Menurut survei National Democratic Institute, hampir 95 persen dari semua informasi soal politik yang diperoleh warga Indonesia ?kecuali Maluku dan Papua?didapat dari surat kabar dan televisi yang pemegang sahamnya ada di Jakarta. Jadi sangat terkonsentrasi oleh segelintir orang yang ada di Jakarta. Sekitar sebelas televisi nasional yang ada di Jakarta itu menguasai audiens hampir 92 persen di seluruh Indonesia.
?Ini bagi saya sangat mengganggu. Artinya suara, reportase, perspektif, interpretasi berita itu semua ditentukan dari Jakarta. Efeknya adalah suara-suara orang di luar Jakarta tidak pernah muncul di media,? ujar Andreas.
Pada dasarnya kebebasan pers itu baik, apalagi di negara demokratis seperti Indonesia ini yang menganggap pilar ke-empat pemerintahan berada pada tangan pers. Tetapi tentunya kebebasan ini tidak boleh digunakan secara sembarangan, harus tetap ada batasan-batasan yang jelas. Karena apabila kebebasan tidak memiliki batasan, yang akan terjadi adalah kekacauan. Informasi yang muncul pada media massa menjadi tidak terkontrol. (cyn)
Speakers of the book discussion (left-right): Tjipta Lesmana (moderator), John Riady, A. Lin Neumann, Andreas Harsono, Ezki Suyanto, Endi Bayuni, and Jolee (CEO Times Bookstore).
UPH Media Relations