NEWS & PUBLICATION

Konferensi Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

12/06/2013 Uncategorized

Konferensi Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pada hari Senin dan Selasa kemarin (25 dan 26 Februari 2013), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan mengadakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013.

Pada hari Senin dan Selasa kemarin (25 dan 26 Februari 2013), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan mengadakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013.

(kiri-kanan) Prof Dr. Tjipta Lesmana, Prof Dr. Aleksius Jemadu, Dr. Phil. Deborah Simorangkir, Christovita Wiloto, dan Prof. Dr. Kai Hafez
Pada hari Senin dan Selasa kemarin (25 dan 26 Februari 2013), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan mengadakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013, bertempat di gedung D UPH, auditorium D 502. Konferensi Internasional ini mengambil tema yang sering menjadi pembicaraan hangat, yaitu media dan globalisasi, dilihat dari pandangan utopian dan distopian. Konferensi ini diadakan dengan tujuan untuk mengajak para akademisi dan praktisi komunikasi dari berbagai negara untuk merefleksikan, berdebat, dan berkontribusi bersama dalam menghasilkan analisis mengenai media saat ini dalam pengaruh globalisasi.
 
 
Konferensi ini dimulai pada pukul 8 pagi dengan kata sambutan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPH, Prof Dr Aleksius Jemadu, kemudian dilanjutkan oleh pembicara utama, Prof. Dr. Kai Hafez, Ketua Internasional dan Perbandingan Ilmu Komunikasi, Universitas Erfurt, Jerman.
 
 
Prof. Dr. Kai Hafez membuka acara ini dengan menjelaskan perbedaan utama antara pandangan utopian dan distopian, dimana pandangan utopian melihat komunikasi saat ini menjadi tak terbatas karena adanya globalisasi dan pengaruh media, pandangan ini bersifat optimistik. Sedangkan pandangan distopian lebih melihat dari segi pesimistik, dimana budaya barat saat ini mendominasi berbagai tayangan di media dan ide kepada masyarakat sehingga menyebabkan kolonialisme intelektual dari globalisasi di media.
 
 
Konferensi ini dilanjutkan dengan diskusi panel antara Prof. Dr. Drs. Tjipta Lesmana, M.A., MARS, Dosen Komunikasi UPH dan Ketua Program Studi Magister Komunikasi UPH; Prof. Dr. Kai Hafez; Profesor di Universitas Erfurt Jerman; Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D, Dekan FISIP UPH; dan Christovita Wiloto, Penulis Buku PowerPR, diskusi panel ini dimoderatori oleh Dr.phil. Deborah N. Simorangkir, B.A., M.S, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UPH.
Peserta konferensi
 
Prof. Dr. Kai Hafez
 

Di Indonesia media cetak masih potensial

Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Dr. Drs. Tjipta Lesmana, M.A., MARS, Dosen Komunikasi UPH dan Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana UPH, dalam kesempatan Konferensi Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang diselenggarakan FISIP UPH pada 25 Februari 2013.

 

Ia menyatakan sikap optimis terhadap eksistensi media cetak di Indonesia, sekalipun media online semakin menunjukkan kekuatannya. ?Beberapa editor media cetak besar di Indonesia optimis media cetak di Indonesia masih eksis meskipun mengalami tekanan yang kuat dari online media. Media cetak harus melakukan perubahan dalam segi isi dan kebijakan redaksi. Penulisan berita di media cetak harus lebih dalam, memberikan background dan perspektif yang lebih kepada pembaca, dimana hal ini tidak dilakukan oleh online media,? jelas Prof. Tjipta.

 

Sekalipun tantangan online media sangat kuat, tetapi tidak sampai menggeser media cetak. Di Indonesia media cetak masih kuat, sehat, bahkan sangat menguntungkan, baik di kota besar maupun di daerah. Hal ini terkait dengan sejarah media di Indonesia yang berbeda dibandingkan di negara-negara maju seperti amerika, Australia dan negara-negara maju lainnya.

 

Social media sebagai New Landscape dalam PR

Dalam kesempatan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013, pada Senin, 25 Februari 2013, Christovita Wiloto, Penulis Buku PowerPR, mengupas kekuatan media baru dalam menyebarkan berita secara global dan mampu menghasilkan dampak yang global pula.

Christovita Wiloto

?Media memiliki kekuatan besar untuk menyebarkan berita secara global. Social media merupakan new landscape dalam PR. Social media sangat strategis untuk membuat opini dan menyampaikan langsung ke opinion leader. Social media bisa membuat seseorang terkenal dan kaya dalam waktu singkat seperti keong racun dan Briptu Norman, atau Maicih mendapat keuntungan berlipat ganda dari twiter. Social media membentuk persepsi komunitas global,? papar Christovita.

Hal yang tidak bisa diabaikan dari sosial media adalah pengaruhnya yang sangat dasyat. Tidak penting berapa jumlah pengikut anda di social media, tetapi yang lebih penting adalah siapa saja pengikut anda. Karena apa yang anda mention di sana akan berpengaruh secara luas.

Ia mencontohkan kasus besar yang diangkat media sosial adalah kasus pemerintah Indonesia dengan London mining company yang dihentikan operasinya. Media online dipakai untuk melakukan black campaign yang menyeret pemerintah Indonesia ke pengadilan abitrase di London dan harus membayar denda sebesar 2 bilion USD. Inilah keindahan globalisasi. Diwaktu yang sama kita bisa menyebarkan berita buruk ke sluruh dunia.

Karenanya menurut Christovita, social media menjadi alat penting bagi PR di era globalisasi. Social media mempunyai dampak global. Social media tdak hanya untuk menyebarkan berita, tetapi juga dapat dipakai untuk meningkatkan brand anda, namun social media juga dapat digunakan untuk black campign. Tetapi keindahan dari social media adalah kita bisa membuat balance informasi dengan memberikan fakta dan integritas, untuk mendapatkan global public trust.
 
 
Judul diatas merupakan topik yang diangkat Prof. Dr. Aleksius Jemadu , Dekan FISIP UPH, pada panel diskusi hari pertama Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013, Senin 25 Februari 2013. Ia berbicara globalisasi media dari aspek moral dan integritas. Mengutip Jan Art Scholte, globalisasi memiliki lima dimensi; internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, modernisasi dan de-territorialization. 
Prof. Aleksius Jemadu
 

Aleksius juga mengupas globalisasi dari tiga sudut pandang yang umum dalam masyarakat, yaitu liberalis, strukturalis dan post-modern. Orang yang menganut pandangan liberal, memiliki pandangan positif terhadap globalisasi karena dapat meningkatkan kesejahteraan individual dan kolektif, mendukung penyebaran nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara penganut strukturalis memiliki pandangan negatif terhadap globalisasi, dengan menyoroti adanya kesenjangan ekonomi, kemiskinan global dan eksploitasi ekonomi. Sedangkan penganut post-modern melihat globalisasi sebagai sesuatu yang lebih kompleks dan mengarahkan kepada ketiadaan moral.

Dampak globalisasi di Indonesia, menurut Aleksius, perlu dipertanyakan. Ini menjadi masalah bangsa kita saat ini. Asumsi demokrasi liberal yang mengatakan bahwa institusi demokrasi baru, dapat mengubah perilaku manusia, kenyataan tidak demikian. Mengacu data yang dikemukakan Marzuki Alie (ketua DPR) ?70% anggota parlemen membuat masalah buat institusinya?.

Ia menambahkan bahwa tidak ada partai politik yang bersih dari korupsi. Berangkat dari fenomena yang terjadi, Aleksius menyatakan bahwa perubahan politik dan ekonomi tidak dapat mengubah perilaku masyarakat. Perubahan hanya bisa dari dalam dimulai dari individu.

 

Ia menutup presentasinya dengan pernyataan C.S. Lewis, mengenai tiga elemen moralitas yaitu mengutamakan keadilan, harmonisasi antar individu, dan menyadari tujuan untuk apa diciptakannya manusia. Karenanya ia optimis pada pandangan kristen yang menekankan pentingnya pembaharuan hati dapat berkontribusi pada perbaikan masyarakat.

 

Setelah para panelis mempresentasikan pandangan dan pemikiran mereka mengenai media dan globalisasi, panel diskusi ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa karena pengaruh dari globalisasi, media menjadi akses tak terbatas untuk mempengaruhi masyarakat, entah melalui tayangan entertainment di TV, foto dan musik lintas budaya, yang berawal dari film Hollywood dan musik sebagai DNA komunikasi global. Christovita Wiloto, dalam presentasinya pun mengatakan bahwa social media, seperti Twitter dan Facebook, selain menjadi alat untuk berkomunikasi dengan sesama, juga dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan black campaign.

 

Panel diskusi ini diakhiri dengan sesi tanya jawab dari peserta konferensi, yang terdiri dari mahasiswa Komunikasi dan Hubungan Internasional UPH, para dosen FISIP UPH, jurnalis, dan para peserta Call for Paper. Acara dilanjutkan dengan presentasi dari peserta Call for Paper pada pukul 1 siang hingga 4 sore, bertempat di Gedung F UPH ruang 1007. (rh/cb)

 
UPH Media Relations