26/05/2025 Pendidikan
Kemampuan berkomunikasi lintas budaya menjadi kunci penting bagi generasi muda untuk dapat menghadapi dunia yang semakin terhubung. Menjawab kebutuhan ini, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pelita Harapan (UPH) melalui Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris, menyelenggarakan International Service Learning Program bertajuk ‘Bridging Cultures Through Language and Stories’ yang berlangsung secara daring selama Januari hingga April 2025. Bekerja sama dengan Society for Teaching Excellence and Progress (STEP) Azerbaijan, program ini mempertemukan 21 mahasiswa calon guru dari UPH angkatan 2024 dengan 15 remaja Azerbaijan berusia 12–13 tahun; untuk saling belajar, berbagi cerita, dan memahami budaya satu sama lain.
STEP Azerbaijan adalah sebuah institusi yang didirikan untuk mendukung pengembangan profesional dan memperluas jaringan bagi para guru, khususnya dalam pengajaran bahasa Inggris. Institusi ini berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai kegiatan seperti diskusi daring, pelatihan, dan kolaborasi internasional.
Michael Recard Sihombing, S.S., M.Hum., dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UPH dan Koordinator International Service Learning Program, menjelaskan bahwa Azerbaijan dipilih sebagai mitra untuk memperluas jangkauan internasional UPH, khususnya ke wilayah yang belum banyak dijangkau kerja sama pendidikan lintas budaya. Kolaborasi ini juga terbangun dari jaringan alumni program pertukaran pemerintah Amerika Serikat (U.S. Exchange Alumni), yang telah lebih dulu mengembangkan program service-learning di komunitas mereka.
“Program ini bukan sekadar mengajarkan bahasa Inggris, tetapi juga membangun kompetensi komunikasi antarbudaya dan kolaborasi lintas budaya. Semoga ini menjadi langkah awal dari kerja sama yang lebih luas dan berkelanjutan,” ujarnya.
Melalui empat sesi pertemuan yang bersifat interaktif, para peserta diajak untuk menggali kekayaan budaya masing-masing, sekaligus mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris. Program ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana pembelajaran daring, tetapi juga sebagai pengalaman edukatif yang membentuk empati, meningkatkan kesadaran antar budaya, serta memperluas pemahaman peserta terhadap isu-isu global.
Pada sesi pertama yang berjudul Getting to Know Our Cultures, peserta diajak mengenal budaya satu sama lain melalui cerita rakyat dan video interaktif. Sesi kedua, yakni Traditions and Heritage, para peserta membahas beragam perayaan budaya, alat musik tradisional, hingga nilai-nilai lokal yang membentuk identitas mereka. Sesi ketiga, Hometown Chit Chat, suasana menjadi lebih akrab saat peserta saling berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, makanan favorit, dan impian masa depan. Sesi terakhir, Teen Life Across Borders, menjadi ruang obrolan santai mengenai hobi, tren, dan gaya hidup remaja di masing-masing negara.
Momen Refleksi dan Pembelajaran Mendalam
Michael menyampaikan bahwa mahasiswa calon guru mengikuti program ini dengan mengacu pada kerangka pembelajaran berbasis aksi, yaitu IPARD (Investigation, Preparation, Action, Reflection, Demonstration). Melalui pendekatan ini, mereka dilatih untuk mengidentifikasi isu-isu global, merancang solusi, melaksanakan proyek kolaboratif, serta merefleksikan dan mendemonstrasikan hasil pembelajaran mereka kepada komunitas.
Sebagai bagian dari tahap refleksi dalam kerangka IPARD, para peserta diminta untuk menuliskan pengalaman mereka dengan menggunakan pendekatan reflektif DEAL (Describe, Examine, and Articulate Learning). Melalui kerangka ini, mereka diajak untuk menggambarkan apa yang dipelajari, menganalisis perasaan dan proses yang dialami selama program, serta mengartikulasikan bagaimana pengalaman ini mengubah cara pandang mereka terhadap dunia dan individu dari latar budaya yang berbeda.
Program ini memberikan pengalaman berharga bagi mahasiswa calon guru dari UPH. Lewat kerja sama lintas budaya, penerapan metode IPARD, dan pendekatan gamifikasi, para mahasiswa tidak hanya menjadi lebih percaya diri saat mengajar, tetapi juga mengembangkan wawasan global, kreativitas dalam mengajar, serta kemampuan kepemimpinan.
Program ini juga mendapatkan sambutan positif dari remaja di Azerbaijan. Berdasarkan survei setelah program, 93% peserta merasa lebih memahami budaya negara lain, dan 87% ingin mengikuti program serupa di masa depan. Hasil ini menunjukkan bahwa program ini berhasil membangun jembatan antarbudaya dan mendorong tumbuhnya generasi muda yang terbuka dan mampu bekerja sama secara global.
“Kami berharap kegiatan ini dapat menjadi kontribusi UPH dalam membentuk pemimpin-pemimpin muda yang berkarakter, kompeten, dan berdampak secara internasional,” ucap Michael.
Sebagai bagian dari upaya memperkenalkan program ini ke komunitas global, UPH turut mempresentasikannya dalam The 13th OpenTESOL International Conference 2025 di Ho Chi Minh City, Vietnam, pada 24 Mei 2025. Dalam sesi berjudul “Transforming Language Education through International Virtual Service Learning and Gamification”, Michael Recard Sihombing (UPH), Safitry Wahyuni (SMPN 2 Samarinda), dan Hidayat Polim (Soka University, Jepang) membahas kerja sama lintas negara serta penggunaan gamifikasi dalam proses belajar bahasa. Presentasi ini menegaskan komitmen UPH terhadap pendidikan yang inklusif dan berkualitas di tingkat global, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 4.
International Service Learning Program ini menjadi bukti nyata komitmen UPH dalam membekali generasi muda untuk membangun komunikasi lintas budaya dan empati global. Selain memperkuat jejaring internasional, program ini juga menjadi wujud kontribusi UPH dalam mempersiapkan generasi pemimpin masa depan yang tidak hanya cakap secara akademis, tetapi juga inklusif, peduli, dan berdampak positif secara global.
UPH berkomitmen untuk terus menghadirkan pendidikan berkualitas tinggi, mencetak lulusan yang takut akan Tuhan, profesional, dan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat—baik di tingkat lokal maupun global.