03/09/2025 Hukum
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan extraordinary crime—kejahatan luar biasa yang menghambat pertumbuhan ekonomi, melemahkan tatanan hukum, dan mengikis kepercayaan publik. Salah satu tantangan besar pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sulitnya merampas aset hasil kejahatan, karena penyitaan baru bisa dilakukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Menyadari urgensi ini, mahasiswa Program Studi Doktor Hukum UPH Batch 32 menggelar Seminar Hukum Publik bertajuk “Dampak Sanksi Perampasan Aset Koruptor terhadap Penguatan Kinerja KPK” pada 28 Agustus 2025 di Auditorium D-501, UPH Lippo Village. Seminar ini menghadirkan Setyo Budiyanto, S.H., M.H., Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) bersama Prof. Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H., M.Kn., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) UPH; dan dimoderatori oleh Zilvia Iskandar, News Anchor Metro TV. Acara ini sekaligus menjadi pembuka rangkaian menuju Dies Natalis ke-30 Fakultas Hukum UPH pada Juli 2026.
Lebih dari 500 peserta dari berbagai kalangan menghadiri seminar ini, mulai dari akademisi, praktisi hukum, dan mahasiswa. Seminar ini juga turut dihadiri oleh Pimpinan UPH beserta jajaran, di antaranya Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc., Rektor UPH; Dr. Andry Panjaitan, S.T., M.T., CPHCM, Associate Vice President of Student Development, Alumni, and Corporate Relations UPH; Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., Executive Dean of College of Arts and Social Sciences sekaligus Dekan Fakultas Hukum UPH; serta Assoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo Budi, S.H., LL.M., Kaprodi Doktor Hukum UPH.
Dalam sambutannya Rektor UPH menyatakan, “Isu korupsi masih menjadi persoalan besar bangsa yang perlu mendapatkan perhatian serius, termasuk dari dunia pendidikan tinggi. Kami berharap, selain menambah wawasan, seminar ini juga memberikan dampak positif yang lebih luas bagi bangsa. Menjadi langkah menuju Indonesia yang bersih dari korupsi serta masyarakat yang adil dan makmur.”
RUU Perampasan Aset: Langkah Revolusioner untuk Efek Jera Koruptor
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menjadi salah satu instrumen krusial dalam pemberantasan korupsi. Ia menyebutnya sebagai langkah revolusioner karena dapat menghadirkan efek jera yang nyata.
“Bukan hanya pelaku yang ditindak, tetapi hasil kejahatannya juga diambil untuk negara,” tegas Setyo.
Gagasan perampasan aset sebenarnya sudah muncul sejak 2008. KPK bahkan sempat dilibatkan dalam penyusunan naskah akademik pada 2012, tetapi tidak lagi dalam proses pada 2015 dan 2022. RUU ini sendiri sudah resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Tahun 2025–2029. Namun, hingga kini pembahasannya belum berjalan. Karena itu, Setyo berharap DPR dapat menjadikan RUU ini prioritas.
Lebih lanjut Setyo menyampaikan apresiasinya, “Seminar ini luar biasa dan saya sebagai narasumber sangat terkesan. Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi lewat kajian akademis. Kontribusi tersebut dapat menjadi masukan berharga bagi legislatif maupun pemerintah. Karena itu, jangan berdiam diri, sebab hasil kajian akademis bisa sangat bermanfaat untuk dianalisis dan ditindaklanjuti para pembuat kebijakan.”
Menggunakan Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA)
Sementara itu, Prof. Jamin Ginting memaparkan pendekatan Deferred Prosecution Agreement (DPA) sebagai opsi hukum yang lebih cepat memulihkan kerugian negara. Melalui mekanisme ini, jaksa dapat menunda penuntutan dengan syarat tertentu—seperti pembayaran ganti rugi, perbaikan tata kelola, atau komitmen kepatuhan hukum.
“DPA bisa menjadi instrumen yang efisien, tetapi tetap harus menjamin kepastian hukum dan menjaga kepercayaan publik. DPA juga membuka jalan agar kerugian negara bisa dikembalikan secara cepat, tanpa mengorbankan keadilan dan transparansi,” tutur Prof. Jamin.
Indonesia sebenarnya memiliki landasan hukum untuk mekanisme serupa. Pasal 35 UU Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021 membuka ruang melalui asas oportunitas, dengan menekankan keadilan restoratif serta pemulihan kerugian negara, bukan sekadar pemenjaraan. Meski begitu, Prof. Jamin menegaskan perlunya pengawasan ketat dan peran aktif pengadilan agar DPA tidak disalahgunakan. Pendekatan ini menempatkan tujuan utama pada pemulihan hak negara dan rakyat, bukan semata menghukum pelaku.
Pelantikan Panitia Dies Natalis ke-30 FH UPH
Dalam seminar ini juga digelar pelantikan panitia Dies Natalis ke-30 FH UPH, yang dilakukan oleh Dr. Velliana dan Assoc. Prof. Dr. Henry. Usai seremoni Assoc. Prof. Dr. Henry, yang ditunjuk sebagai Ketua Dies Natalis, menyampaikan apresiasinya, “Saya berterima kasih kepada Fakultas Hukum yang memperingati usia ke-30 dengan menyelenggarakan seminar ini. Inilah persembahan yang telah kami persiapkan, dan saya memberikan penghargaan setinggi-tingginya.”
Seminar yang digagas mahasiswa Program Doktor Hukum UPH ini menegaskan perlunya langkah nyata dalam pemberantasan korupsi. Diskusi ini mendorong pemerintah dan DPR menuntaskan pembahasan RUU Perampasan Aset, agar Indonesia memiliki instrumen hukum efektif untuk menjerat koruptor dan memulihkan kepercayaan publik.
Lewat kegiatan ini, UPH mendorong mahasiswa untuk berkontribusi nyata melalui kajian akademis dan diskusi kritis terhadap isu yang berkembang. Inisiatif seperti ini menjadi bukti bahwa UPH mendidik para mahasiswa untuk tumbuh sebagai lulusan yang takut akan Tuhan, profesional, dan siap membawa dampak positif bagi masyarakat.