Universitas Pelita Harapan bekerjasama dengan Lippo Group dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyelenggarakan kuliah umum "The New World Trade" yang menghadirkan Pascal Lamy, Direktur Jendral WTO, pada hari Rabu, 10 September 2014, pukul 12.
Universitas Pelita Harapan bekerjasama dengan Lippo Group dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyelenggarakan kuliah umum “The New World Trade” yang menghadirkan Pascal Lamy, Direktur Jendral WTO, pada hari Rabu, 10 September 2014, pukul 12.
![]() Pascal Lamy, Direktur Jendral WTO, disambut oleh James Riady, CEO of Lippo Group & Jonathan Parapak, Rector of Universitas Pelita Harapan
|
||
Era perdagangan dunia yang baru (The New World Trade) telah dimulai, yang ditandai dengan berkurangnya hambatan tarif yang digantikan nontarif. Untuk menikmati pertumbuhan pasar global, setiap negara dituntut menaikkan standar produk industri.
?Kita baru saja meninggalkan era perdagangan dunia lama dan memasuki perdagangan dunia baru. Ada beberapa perubahan yang harus dicermati setiap negara,? ujar mantan Direktur Jenderal World Trade Organization (WTO) Pascal Lamy.
Dia mengatakan hal itu dalam kuliah umum “The New World Trade” yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan (UPH) bekerja sama dengan Lippo Group dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada haru Rabu, 10 September 2014 pukul 12.00-15.00, di Hermitage Hotel, Jakarta. Kuliah umum ini dihadiri oleh sekitar 200 orang yang berasal dari Embassy, Akademisi, Lawfirms, Kementerian UKM, BKPM, dan Perusahaan Swasta. Turut hadir juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu, Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal dan CEO Lippo Group James Riady.
Menurut Pascal, perdagangan dunia lama ditandai oleh produksi yang dilakukan perusahaan di suatu negara. Selanjutnya, negara memproteksi industri tersebut melalui penerapan tarif bea masuk (BM) yang tinggi. Hal seperti inilah yang menghambat perdagangan dunia lama.
?Untuk mengatasi hambatan ini, dibuatlah perjanjian bilateral dan multilateral. Jadi tarif BM ada yang dinaikkan atau diturunkan untuk menciptakan suatu keseimbangan tarif antara negara satu dan lainnya,? papar dia.
Dunia, kata dia, mulai meninggalkan periode perdagangan seperti ke sistem perdagangan baru, yang mengedepankan sistem produksi global. Artinya, setiap pemegang merek mendirikan basis produksi di negara yang dianggap kompetitif untuk memangkas biaya yang timbul akibat perbedaan jarak.
Tren seperti ini, kata dia, terlihat pada tingginya perdagangan komponen dan produk setengah jadi yang mencapai 2/3 dari volume perdagangan dunia. Ini terjadi di beberapa sektor manufaktur seperti otomotif, komponen, serta makanan dan minuman (mamin) olahan.
?Asia menjadi salah satu tujuan favorit sistem produksi global. Saat ini, sebanyak 40 persen impor asia merupakan bahan baku produk yang akan diekspor. Dalam 20 tahun ke depan, porsinya mencapai 50 persen,? tukas dia.
Pada perdagangan dunia baru, demikian Pascal, hambatan yang muncul adalah masalah standardisasi produk. Contohnya, standar keselamatan kendaraan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa berbeda. Artinya, jika perusahaan otomotif Eropa ingin masuk pasar AS, mereka harus memenuhi standar keselamatan di negara itu.
?Hal seperti ini harus disadari oleh negosiator perdagangan. Ini bukan soal tarif, melainkan kebijakan yang dibuat oleh badan keselamatan suatu negara,? kata dia.
Melihat fakta itu, dia menerangkan, tantangan perdagangan dunia saat ini adalah masalah standardisasi produk. Solusinya adalah menaikkan kapasitas untuk memenuhi standar internasional. Inilah resep untuk menikmati pertumbuhan pasar global. |
||
Sumber: Beritasatu.com
|
||
UPH Media Relations
|