04/12/2025 Social & Humaniora, Student Life
Dalam tiga tahun terakhir, isu kesehatan mental remaja dan mahasiswa menjadi perhatian serius. Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) di tahun 2022 mencatat 34,9% remaja usia 10–17 tahun mengalami masalah mental dalam 12 bulan terakhir, tetapi hanya 2% yang pernah mengakses layanan profesional. Menjawab urgensi ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pelita Harapan (UPH) bekerja sama dengan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menggelar Mini Festival Kesehatan Mental 2025 pada 26 November 2025 di UPH Lippo Village, Tangerang. Festival ini menjadi ruang aman untuk edukasi, relaksasi, dan perawatan diri bagi mahasiswa.
Ruvellino Mangindaan, mahasiswa Manajemen 2023 sekaligus Ketua BEM UPH 2025/2026, menekankan pentingnya ruang yang suportif. “Banyak dari kita belum menyadari kondisi kesehatan mental sendiri atau bingung mencari bantuan. Festival ini hadir sebagai ruang belajar, berbagi pengalaman, dan mendorong budaya peduli antar-mahasiswa,” ujarnya.
Festival ini menghadirkan beragam aktivitas yang saling melengkapi. Di area booth, pengunjung dapat menemukan informasi seputar kesehatan mental, layanan cek kesehatan dasar, konsultasi ringan, hingga menikmati Zen Corner yang menawarkan relaksasi melalui musik terapi. Beralih ke panggung utama, terdapat talkshow yang menghadirkan para ahli dan praktisi untuk berbagi wawasan dan pengalaman terkait kesehatan mental. Tak hanya itu, art therapy workshop turut diadakan sebagai sebuah ruang kreatif bagi peserta untuk mengekspresikan emosi dan healing melalui seni.
Zenithesa Gifta Nadirini, Community Engagement Manager CISDI, menyampaikan komitmen CISDI untuk memperluas akses layanan kesehatan mental.
“Dengan memperluas akses, CISDI ingin meningkatkan kesadaran dan mendorong keberanian generasi muda untuk mencari pertolongan. Di kampus seperti UPH, kami berupaya menciptakan ruang aman untuk belajar tentang emosi dan memahami bahwa meminta bantuan bukanlah kelemahan,” ujarnya.
Talkshow: Saat Burnout Datang, Saatnya Pause Sejenak
Dalam sesi talkshow Mini Festival Kesehatan Mental yang mengangkat tema “Pause Dulu Saat Burnout Mulai Datang”. Sesi ini menghadirkan tiga pembicara: Sayyid M. Jundullah, Senior Officer for Health Policy & Community Partnership CISDI; Chrysan Gomargana, M.Psi., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi UPH; serta Amanda Delisia, M.Psi., Psikolog—Alumni Psikologi UPH 2017, Psikolog Klinis, sekaligus Founder @noutrisijiwa.
Sayyid mengawali sesi dengan menyoroti data nasional isu kesehatan mental. “Angka 34,9% bukan statistik di atas kertas, tetapi suara anak muda yang lelah dan bingung. Untuk itu penting untuk kita menciptakan ruang aman, agar mahasiswa tidak takut mencari pertolongan,” ujarnya.
Dari sudut pandang psikologi, Chrysan menjelaskan bahwa burnout muncul dari akumulasi tekanan dari berbagai aspek. Mulai dari tuntutan akademik, relasi, ekspektasi keluarga, hingga aktivitas organisasi.
“Beban dari banyak arah sering dianggap biasa, padahal tubuh dan pikiran sudah memberi sinyal kelelahan,” jelasnya.
Lebih lanjut Amanda menjelaskan tiga indikator kapan seseorang perlu bantuan profesional. Indikator pertama, ketika pikiran negatif muncul setiap hari. Kemudian, pikiran negatif berlangsung lebih dari dua minggu. Indikator ketiga, ketika intensitas pikiran negatif tersebut semakin tinggi hingga mengganggu keseharian atau menimbulkan risiko bagi diri sendiri.
“Tiga indikator ini membantu kita lebih peka terhadap diri sendiri. Terpenting, jangan buru-buru menyimpulkan sakit, tapi jangan menunda bila memang perlu bantuan,” tuturnya.
Sebelum sampai pada tahap konseling profesional, para narasumber membagikan teknik praktis untuk meredakan gejala burnout:
Chrysan juga menegaskan bahwa mahasiswa UPH tidak perlu menghadapi persoalan mental seorang diri, karena kampus menyediakan berbagai layanan konseling seperti HOPE Counseling Center, Cornerstone Psychological Center, OASIS (Adolescent Health Center), dan Breakthrough for Life.
Workshop Art Therapy: Mengenal Emosi, Koneksi, dan Batas Diri
Selain talkshow, Mini Festival Kesehatan Mental juga menyelenggarakan Art Therapy Workshop bersama Mutia Ribowo, MA (AThs), CEO ART+I dengan tema “Inner Constellation Painting: Exploring Social Bonds, Loneliness & Boundaries”.
Mutia mengajak peserta memahami dinamika hubungan sosial melalui lensa teori perkembangan Erik Erikson, yakni teori yang membahas delapan tahap perkembangan psikososial dari masa bayi hingga dewasa. Pada sesi ini, Mutia secara khusus menyoroti tahap keenam, Intimacy vs. Isolation pada fase dewasa muda. Melalui workshop ini, para peserta diajak mengenali emosi, batas diri, serta kerentanan yang muncul dalam membangun relasi—semuanya dituangkan melalui media melukis.
Salah satu peserta, Theodora Puspvita (Psikologi 2025), mengaku bahwa sesi ini membuka wawasan baru. “Saya jadi sadar bahwa kesehatan mental bukan sesuatu yang harus dipikul sendirian. Gen Z sering merasa nggak punya tempat cerita, padahal berbagi dan mencari bantuan profesional itu penting,” ungkapnya.
Mini Festival Kesehatan Mental 2025 menjadi wujud komitmen UPH dalam menghadirkan lingkungan belajar yang sehat secara holistik. Melalui berbagai program pengembangan diri, UPH terus mendukung mahasiswa untuk bertumbuh secara akademik, emosional, dan spiritual. Upaya ini menegaskan komitmen UPH dalam melahirkan lulusan yang takut akan Tuhan, profesional, dan berdampak bagi masyarakat.